Catatan Kecil tentang Dana Indonesiana

Gunoto Saparie : Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)
Semarangsekarang.com,- Maret tahun 2022 boleh dikatakan merupakan peristiwa penting bagi kalangan seniman dan budayawan Indonesia. Betapa tidak? Guna mendukung pemajuan kebudayaan secara stabil dan berkelanjutan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meluncurkan Dana Indonesiana. Hadirnya kebijakan ini, mengundang komentar positif dari berbagai kalangan. Sebagian besar optimistis bahwa penggunaan hasil pengembangan Dana Indonesiana yang berorientasi jangka panjang akan mendukung kemajuan sektor kebudayaan secara menyeluruh.
Menggarisbawahi pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, Dana Indonesiana mendukung kohesi sosial melalui penguatan identitas dan ketahanan budaya. Dana Indonesiana merupakan dana abadi, di mana dana pokok tidak akan dipergunakan untuk kebutuhan lain dan selamanya akan diinvestasikan khusus untuk bidang kebudayaan. Dana pokok tersebut akan terus ditambah dan diakumulasikan dari tahun ke tahun, hasil dari pengelolaan dana pokok tersebut akan dijadikan sumber pendanaan untuk berbagai kegiatan ekspresi budaya.
Dana Indonesiana berinduk kepada Dana Abadi yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di bawah naungan Kementerian Keuangan. Pendanaan bidang kebudayaan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Konsepnya diwujudkan melalui Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2024 tentang Dana Abadi di Bidang Pendidikan. Dana Indonesiana mendistribusikan hibah pemerintah di bidang kebudayaan secara terintegrasi. Adapun sumber pendanaannya berasal dari APBN, pendapatan investasi, dan/atau sumber lain yang sah.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menjelaskan bahwa tujuan utama dari program ini adalah untuk menempatkan pelaku budaya sebagai motor penggerak pemajuan kebudayaan. Seiring dengan perjalanan waktu, Dana Indonesiana memberikan kontribusi dalam membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan dan pemajuan kebudayaan di Indonesia. Layanan Dana Indonesiana meliputi dukungan Fasilitasi Bidang Kebudayaan, Pemanfaatan Dana Abadi Kebudayaan, sampai Beasiswa Pelaku Kebudayaan. Sementara penerimanya terdiri atas perorangan, kelompok/komunitas budaya, dan lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan.
Harus diakui, hal ini untuk pertama kali dalam sejarah ada dana abadi kebudayaan. Ia telah ditunggu-tunggu sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Tentu saja hal ini akan membantu pegiat seni budaya untuk berkarya lebih baik lagi.
Pemanfaatan Dana Indonesiana tidak dirancang hanya oleh pemerintah, melainkan melibatkan pemangku kepentingan pada sektor kebudayaan dan melibatkan dewan pengarah program, serta komite seleksi substansi dengan unsur ahli di bidang kebudayaan, seniman, dan penggerak masyarakat bidang kebudayaan.
Memang, alokasi pendanaan seni di Indonesia selama ini masih sangat minim. Oleh karena itu, untuk mendorong pengembangan ekosistem seni dan budaya, maka dukungan keuangan berupa Dana Abadi berlandaskan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan diluncurkan. Dana Abadi ini, yang juga disebut sebagai Dana Indonesiana, lebih fleksibel dibanding hanya mengandalkan APBN/APBD. Dana Indonesiana dapat memberikan keluasaan dan mendorong inovasi bagi pegiat seni budaya secara berkelanjutan. Dukungan program Dana Indonesiana mencakup fasilitasi bidang kebudayaan, pemanfaatan hasil kelola dana abadi kebudayaan, dan program beasiswa pelaku budaya.
Sumber pendanaan Dana Indonesiana berasal dari APBN, dana abadi kebudayaan, dan dana abadi pendidikan. Perkembangan Dana Indonesiana menghasilkan nilai investasi pada tahun 2020 hingga 2021 sebesar Rp. 45 miliar. Jumlah penerima manfaat dan alokasi anggaran Dana Indonesiana sempat mengalami peningkatan. Pada 2023, alokasi anggaran mencapai Rp 5 triliun dengan 263 penerima manfaat terdiri dari individu/kelompok/lembaga. Berkaca dari negara lain, pada 2022 pendanaan pemerintah Amerika Serikat untuk sektor seni dan budaya sebesar Rp 29,8 triliun. Pendanaan tersebut berasal dari National Endowment for the Arts (NEA), State Arts Agencies (SAA), dan Local Arts Agencies (LAA). Pada 2019, pemerintah Kanada menginvestasikan pada seni dan budaya sebesar Rp 87,9 triliun. Sementara, Inggris pada 2018 memberikan sumbangan amal untuk seni dengan nilai Rp 10,2 triliun.
Dana Indonesiana merupakan salah satu program Merdeka Belajar yang menjadi bukti nyata hadirnya pemerintah untuk bergerak bersama masyarakat dalam mewujudkan Merdeka Berbudaya. Serta menjadi tindak lanjut dari hasil Kongres Kebudayaan tahun 2018 yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pada tahun 2020 dan 2021 pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp3 Triliun yang dikelola bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai dana abadi kebudayaan. Dana Indonesiana dapat mendukung secara penuh aktivitas yang dilakukan oleh para budayawan Indonesia serta masyarakat umum dalam upaya mendorong pemajuan kebudayaan secara langsung dan menyeluruh.
Dana Indonesiana ini dapat menjadi support system bagi pegiat-pegiat kebudayaan Indonesia yang ada di setiap daerah untuk menciptakan generasi yang cinta akan kebudayaan asli. Hal tersebut dapat menjawab permasalahan yang terjadi atas fenomena generasi saat ini yang tak banyak mengenal budaya asli Indonesia akibat dari globalisasi yang menyebabkan transformasi budaya tersebut. Cakupan kegiatan yang dapat mengajukan bantuan pendanaan dalam Dana Indonesiana terbagi menjadi dua kategori. Yaitu pertama, dokumentasi karya atau pengetahuan maestro berupa kegiatan merekam dan merangkum karya atau pengetahuan dari seorang maestro. Sedangkan kedua, pendayagunaan ruang publik berupa pemanfaatan terhadap sarana dan prasarana publik, baik secara fisik maupun virtual untuk kepentingan pemajuan kebudayaan Indonesia.
Prioritas pendanaan dilakukan dalam beberapa kategori. Pertama, komunitas budaya dan lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang kebudayaan berdomisili dan akan melaksanaan kegiatan kebudayaan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang memiliki Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) rendah. Kedua, yang secara programik melibatkan atau membuka akses kepada partisipasi aktif disabilitas. Ketiga, melibatkan perempuan sebagai aktor utama dan bertujuan untuk promosi kesetaraan gender dalam penyelenggaraan kegiatan kebudayaan. Keempat, komunitas budaya dan lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang secara programis melibatkan atau membuka akses kepada partisipasi aktif kelompok lansia, melaksanakan kegiatan terkait Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan secara entitas maupun kepengurusan belum pernah menerima bantuan dari Direktorat Jendral Kebudayaan. Dana tersebut juga dapat berpeluang untuk mendanai organisasi semacam perhimpunan mahasiswa daerah yang turut melestarikan dan mengenalkan budaya asli daerah masing-masing.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya, Dana Indonesiana bukannya tanpa masalah. Dari rangkaian diskusi kelompok terpimpin yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku seni budaya secara daring maupun luring di Dumai, Pontianak, Medan, Ternate, Makassar, dan Kupang, Koalisi Seni menemukan dua hal esensial yang perlu pemerintah perbaiki. Pertama, tata kelola informasi, sedangkan kedua, sumber daya manusia.
Rangkaian diskusi tersebut mencatat sirkulasi informasi Dana Indonesiana perlu diperbaiki. Misalnya, informasi tentang pemotongan pajak tidak tersampaikan dengan akurat, terdapat perbedaan kewajiban membayar pajak antara penerima dana pada kategori Fasilitasi Bidang Kebudayaan dengan kategori lainnya. Hal ini merupakan implikasi dari tiga sumber dana berbeda, dengan mekanismenya masing-masing, yang dikelola program Dana Indonesiana.
Dana Indonesiana dibiayai dari tiga sumber pendanaan, yaitu APBN, Dana Abadi Kebudayaan, dan Dana Abadi Pendidikan. Perbedaan ketiga sumber dana ini berpengaruh pada pajak yang dikenakan. Ini informasi penting bagi pelaku seni budaya saat menyusun rancangan anggaran. Sayangnya, tidak ada informasi tersebut di kanal publikasi Dana Indonesiana dan Juknis.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan menetapkan Juknis yang berbeda setiap tahun. Kenaikan jumlah dari 5 kategori pada tahun sebelumnya jadi 12 kategori pada tahun ini adalah kesempatan besar bagi pelaku seni budaya, namun Juknis baru bisa diakses satu bulan sebelum tenggat pengiriman proposal. Durasi satu bulan bisa jadi batu sandungan ketika calon pengirim proposal sempat mengacu pada pengalaman penerima manfaat sebelumnya.
Selain itu, penggunaan fasilitas eRISPRO sebagai aplikasi penerima laporan yang biasa digunakan untuk pertanggungjawaban program riset yang didanai LPDP belum akrab bagi pelaku seni budaya. Penerima manfaat Dana Indonesiana diwajibkan mengirim dokumen pelaporan secara mandiri ke sana. Sayangnya, penggunaan aplikasi ini tidak didalami secara khusus dalam lokakarya yang digelar untuk para penerima manfaat.
Sedangkan layanan bantuan (helpdesk) yang tersedia kurang berfungsi secara maksimal. Pelaku seni budaya yang membutuhkan informasi langsung dari penyelenggara harus menunggu sampai seminggu untuk mendapat respons. Beberapa penerima dana mengaku ketika proses administrasi mandek, lambatnya respons dari pusat bantuan bisa berakibat keterlambatan pencairan dana tahap berikutnya. Dana yang berasal dari tiga sumber berbeda membuat Dana Indonesiana bukan menjadi fokus utama tanggung jawab kementerian/lembaga terkait. LPDP yang mengelola Dana Abadi Kebudayaan dan Dana Abadi Pendidikan melimpahkan pengelolaan di Direktorat Fasilitasi Riset, sementara APBN dari Kemendikburistek meletakkannya di Ditjen Kebudayaan.
Tentu saja hal-hal tersebut patut menjadi catatan kita.