Iduladha dan Kesalehan Individual-Sosial


Gunoto Saparie ; Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah foto : ist

Semarangsekarang.com,- Beberapa hari lagi Hari Raya Iduladha yang dikenal juga dengan sebutan Lebaran Haji akan tiba. Momentum ini memang berkaitan dengan ibadah haji yang dilaksanakan di Tanah Suci Mekah, Arab Saudi. Iduladha juga menandai puncak pelaksanaan ibadah haji pada hari Arafah (9 Zulhijah), yaitu para jemaah haji akan melakukan wukuf atau berdiri dan berdoa di Padang Arafah. Setiap tahunnya ada jutaan umat Islam dari seluruh dunia melakukan ibadah haji selama bulan Zulhijah yang merupakan bulan ke-12 dalam penanggalan Islam.

Pemerintah melalui Kementerian Agama resmi menetapkan Hari Raya Iduladha atau 10 Zulhijah 1445 Hijriah jatuh pada Senin, 17 Juni 2024. Keputusan ini diumumkan oleh Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki usai Sidang Isbat penentuan 1 Zulhijah 1445 H di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Jumat, 7 Juni 2024.

Sementara Nahdlatul Ulama (NU) dalam menentukan awal Zulhijah 1445 H mengikuti hasil sidang Isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Sedangkan Muhammadiyah telah lebih dulu menetapkan awal Zulhijah termasuk Lebaran Iduladha 2024 melalui Maklumat PP Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2024 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1445 H. Keputusan Muhammadiyah ini ditetapkan berdasarkan kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Berdasarkan maklumat tersebut, awal Zulhijah 1445 H jatuh pada Sabtu, 8 Juni 2024. Sementara Hari Raya Iduladha 2024 jatuh pada Senin, 17 Juni 2024.

Alhamdulillah, dengan demikian, pemerintah, NU, dan Muhammadiyah serentak menetapkan Lebaran Iduladha 1445 H pada Senin, 17 Juni 2024. Allahuakbar! Suara takbir sebentar lagi akan bergema, mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam. Di hari Iduladha, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan salat sunnah dua rakaat, juga diharapkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu.

Kita tahu, Allah memerintahkan umat Islam melaksanakan ibadah kurban (QS Al-Kautsar [108]: 1-3). Bahkan, Nabi Muhammad mengancam orang yang tidak mau berkurban padahal dia mempunyai kelapangan rezeki. Beliau bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kelapangan rezeki dan dia tidak berkurban, hendaklah ia tidak mendekat ke tempat salatku.”

Diriwayatkan, Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintah-Nya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhan pun dilaksanakan. Akhirnya, Ismail pun tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam Al-Quran surat Ash-Shaffat ayat 102-109.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Ibrahim ini patut untuk kita teladani.

Bagi Ibrahim, Ismail bukan sekadar anak, melainkan juga idaman hati, pelipur lara dan teman perjuangan melawan penindasan Namrudz dalam menegakkan kalimat tauhid. Inilah ujian sebenarnya (al-bala al mubin) yang disebut jihad akbar, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang sering menguasai manusia serta menjauhkan mereka dari Tuhannya. Karena ketabahan dan keikhlasannya, Ibrahim berhasil melewati ujian berat tersebut sehingga Allah menggantinya dengan seekor binatang sembelihan, yang kemudian dijadikan simbol untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana terkandung dalam makna qurban itu sendiri.

Esensi yang terkandung dalam ibadah kurban adalah memberikan pesan moral agar setiap pribadi memiliki kesiapan mental untuk senantiasa menaati perintah Allah. Dalam konteks demikian, maka ibadah kurban akan memperkuat kesalehan spiritual kita (hablun minallah).

Ibadah kurban juga memupuk kita memiliki empati dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Dengan berempati dan bertanggung jawab, kita merasakan denyut penderitaan orang lain, dan sekaligus berusaha untuk mengatasinya. Dengan menjalankan ibadah kurban, kita akan dapat meningkatkan kesalehan sosial.

Banyak cendekiawan Islam berpendapat bahwa Iduladha sesungguhnya merupakan kontinyuitas “jalan kesalehan sosial spiritual” dari Idul Fitri. Kalau Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan atas nafsu, egoisitas, dan individualitas, maka Idul Adha merupakan manifestasi dari ketulusan berkorban, kerendahhatian untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan Ibrahim dan putranya, Ismail, sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari manasik haji.

Iduladha bermuara pada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, etos berbagi, dan signifikansi silaturahim. Keduanya berangkat dari panggilan iman dan berbuah kemanusiaan universal, terutama aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti diteladankan Nabi Muhammad dalam khutbah wada-nya di saat wukuf di Arafah maupun mabit (bermalam) di Mina.

Imam Syatibi dalam magnum opus-nya Al-Muwafaqot mengatakan, satu di antara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyariatkan qishosh, larangan pembunuhan, dan lain-lain. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia.

Di hari Iduladha, umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai, yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transendental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial, karena selain sebagai ritual keagamaan, ia juga memiliki dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya.

Dengan disyariatkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, dan mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Dewasa ini, harus diakui, kita sering menemukan, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin salat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun justru tidak peduli dengan kondisi masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, marilah kita jadikan Iduladha sebagai momentum untuk meningkatkan, selain kesalehan ritual, juga kesalehan individual, spiritual, dan sosial.

Berita Terkait

Top