Keheningan Dalam Puisi-Puisi Ramadan.
Oleh Nia Samsihono
Semarangsekarang.com Bulan Ramadan bagi umat Islam merupakan bulan yang suci. Biasanya semua orang mengendalikan diri agar mendapatkan kemuliaan yang diberikan oleh Allah SWT. Informasi yang ditulis dalam bentuk berita, karya, atau apa pun diarahkan untuk menggunakan kosakata yang menyejukkan hati. Ciptaan puisi yang ditulis oleh para penyair sebagian besar menggunakan kosakata berkaitan dengan Ramadan, misalnya dahaga, doa, tafakur, puasa, lapar, lailatul qadar, bulan, sajadah, tasbih, Allah, dan kosakata lainnya yang dapat memaknai suasana Ramadan. Biasanya, puisi tentang Ramadhan merupakan sekumpulan puisi islami yang setiap baitnya mengandung makna mendalam dan menyejukkan hati. Ia menjadi cerminan refleksi diri, ungkapan syukur, hingga pengharapan akan ampunan Ilahi. Kita lihat puisi tentang Ramadan karya Taufik Ismail yang berjudul “Lailatul Qadar”. Puisi tentang lailatul qadar ini merupakan hasil perenungan Taufik Ismail terhadap surat Al-Qadr ayat 1-5. Lailatul qadar turun di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir Ramadan.
LAILATUL QADAR
Karya Taufik Ismail
Margasatwa tak berbunyi
Gunung menahan nafasnya
Angin pun berhenti
Pohon-pohon tunduk
Dalam gelap malam
Pada bulan suci
Qur’an turun ke bumi
Qur’an turun ke bumi
Inilah malam seribu bulan
Ketika cahaya sorga menerangi bumi
Ketika cahaya sorga menyinari bumi
Inilah malam seribu bulan
Ketika Tuhan menyeka airmata kita
Ketika Tuhan menyeka dosa-dosa kita
Puisi “Lailatul Qadar” karya Taufik Ismail menggambarkan momen penting dalam kehidupan seorang muslim, yaitu malam Lailatul Qadar, malam yang penuh berkah dalam bulan Ramadan. Puisi ini menampilkan kekaguman akan kebesaran Tuhan serta keindahan spiritualitas dalam ibadah. Dengan bahasa yang indah dan metafora yang khas, Taufik Ismail berhasil menggambarkan kedalaman makna dari malam Lailatul Qadar. Sunyi tak terdengar suara apa pun. Binatang-binatang yang berbunyi kala malam membisu, gunung pun digambarkan ‘menahan napas’, angin mati, pohon-pohon menunduk di kegelapan malam yang benar-benar tak ada suara. Hening. Lengang.
Dalam puisi ini, Taufik Ismail menghadirkan atmosfer yang kaya akan rasa khidmat dan kerendahan hati di hadapan keagungan Tuhan. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehadiran malam Lailatul Qadar yang dianggap lebih baik dari seribu bulan. Dengan kata-kata yang mengalir dan penuh imajinasi, ia mengajak pembaca untuk memahami pentingnya momen-momen spiritual dalam kehidupan seorang muslim. Puisi ini juga memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan tentang pentingnya waktu dan kesempatan dalam kehidupan manusia. Seperti malam Lailatul Qadar yang dianggap sebagai malam di mana takdir seseorang ditetapkan, Taufik Ismail memberikan pesan tentang pentingnya memanfaatkan setiap momen dalam hidup dengan sebaik-baiknya. Secara keseluruhan, “Lailatul Qadar” adalah sebuah karya puisi yang menginspirasi dan mengajak pembaca untuk mendalami makna keagungan Tuhan serta pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan keindahan bahasa dan kedalaman makna, puisi ini berhasil menciptakan pengalaman batin yang mendalam bagi pembaca yang merenunginya.
Berikut ini puisi karya Siamir Marulafau yang juga menggambarkan Lailatul Qadar.
SUJUD MALAM
Karya Siamir Marulafau
Pilar-pilar mesjid bertasbih
Kubah terbentang
Pintu surga menyambut
Doa lailatul qadar melantun
Air terjun tercengang
Tak akan mengalir lagi
Bumi terbelah
Pohon-pohon sujud
Neraka menangis
Aku tak akan memanas
Di kala zikir membiaskan sinar
Rahmat-Nya mengukir surga
Segala pujian dan harapan dilukiskan pada puisi ‘Sujud Malam’ untuk menyambut Lailatul Qadar. Kosakata yang digunakan mengacu pada pengampunan diri manusia. Segala kata diungkapkan untuk memohon karunia Tuhan. Manusia dan alam merasakan keheningan dan kekuasaan Tuhan akan alam saat itu.
Puisi berikut karya Gunoto Saprie berjudul ‘Gerimis Di Malam Ramadan’. Puisi ini menggunakan situasi Ramadan untuk membangkitkan rasa yang menguatkan pelukisan suasana yang imajinatif pada kehidupan manusia dan alam. Gunoto Saparie mendramatisir Ramadan dengan keadaan gerimis di malam hari. Ada angin, ada suara orang membaca Al-Quran, ada bayang-bayang yang diciptakan oleh cahaya lampu yang memudar. Semuanya bermuara pada doa ke Tuhan.
GERIMIS DI MALAM RAMADAN
Karya Gunoto Saparie
gerimis pun menangis di malam ramadan
dan desau dedaunan rawan di pepohonan
ada elegi menyayat di tengah wabah corona
suaramu membaca quran tersendat dalam dada
jalanan sunyi dan lengang tak seperti biasanya
lampu-lampu memudar menciptakan bayang-bayang
salawat tarhim menggema ditingkah doa penuh duka
lewat tengah malam jasad siapakah terbaring?
gerimis pun menangis di malam ramadan
turun sepanjang jalan dan trotoar jadi basah
menangisi seseorang yang hari ini berpisah
dengan keluarga, tetangga, dan handai tolan
manusia datang dan pergi menemu takdir
suka dan duka pun hadir silih berganti
selalu ada yang mati, o, ada pula yang lahir
estafet antargenerasi tak terelakkan harus terjadi
gerimis pun menangis di malam ramadan
ketika tarawih dan doa pun lengkap sudah
kesedihan begitu dalam berlarat-larat
tapi bukankah kita harus berpacu dengan sejarah?
Alam menjadi latar menguatkan situasi malam Ramadan yang dilukiskan Gunoto Saparie. Metafora dedaunan yang berdesau rawan hingga suara membaca Al-Qur’an digambarkan “tersendat” di dada, betapa itu tergambar sesuatu yang kekes, tintrim. Hal ini diperkuat dengan ‘gerimis pun menangis di malam ramadan’.
Tema Ramadan dalam puisi-puisi Indonesia menawarkan kesempatan yang mengagumkan untuk merangkai kata-kata yang menginspirasi, merenungkan, dan membangkitkan kesadaran spiritual. Ramadan, sebagai bulan suci dalam agama Islam, penuh inspiratif untuk menyampaikan makna dan keberkahan. Tema Ramadan yang diangkat dalam puisi-puisi yang menggambarkan bulan Ramadan dapat dikelompokkan dalam beberapa hal berikut ini.
1. Kesucian dan Keheningan: Puisi-puisi Ramadan sering kali menggambarkan kesucian dan keheningan bulan ini. Mereka mengundang pembaca untuk memperdalam introspeksi diri, menyucikan jiwa, dan meningkatkan kesadaran akan hubungan mereka dengan Tuhan.
2. Semangat Kebaikan: Puisi-puisi Ramadan menghidupkan semangat untuk melakukan kebaikan, berbagi dengan sesama, dan meningkatkan kepedulian sosial. Mereka menggugah hati untuk berbuat baik dan memberikan manfaat kepada orang lain, terutama yang kurang beruntung.
3. Cerminan Penyesalan dan Harapan: Puisi-puisi ini juga mencerminkan penyesalan atas dosa-dosa masa lalu serta harapan untuk mendapatkan ampunan dan berubah menjadi lebih baik di masa depan. Mereka mengajak pembaca untuk merenungkan kesalahan mereka dan memperbaiki perilaku mereka ke arah yang lebih baik.
4. Keindahan Tradisi dan Ritual: Puisi-puisi Ramadan sering kali menggambarkan keindahan tradisi dan ritual yang terkait dengan bulan ini, seperti puasa, shalat tarawih, dan membaca Al-Qur’an. Mereka menyoroti kekayaan budaya dan spiritualitas yang menyertai Ramadan.
5. Simbolisme dan Metafora: Puisi-puisi ini sering menggunakan simbolisme dan metafora untuk menggambarkan makna Ramadan secara lebih dalam. Mereka dapat menggunakan gambar-gambar seperti bulan sabit, air zamzam, atau cahaya yang memancar sebagai metafora untuk keberkahan dan kesucian.
6. Pengharapan akan Ampunan: Puisi-puisi Ramadan mengungkapkan pengharapan akan ampunan dan rahmat Allah SWT. Mereka menyoroti pentingnya berdoa, bertobat, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik selama bulan suci ini.
7. Kesatuan Umat: Puisi-puisi ini juga mencerminkan semangat kesatuan umat dalam menjalani ibadah Ramadan. Mereka menggarisbawahi pentingnya solidaritas, persaudaraan, dan dukungan antar sesama muslim dalam mencapai tujuan spiritual mereka.
Dalam rangkaian kata-kata yang indah dan mendalam, puisi-puisi Indonesia berlatar Ramadan mempersembahkan perenungan tentang makna kehidupan, ketaatan kepada Tuhan, dan hubungan dengan sesama manusia. Mereka membangun jembatan antara kehidupan sehari-hari dan keberkahan spiritual bulan Ramadan, menginspirasi kita untuk meningkatkan kualitas diri, dan berbagi kasih sayang kepada semua yang kita temui. (Jakarta, 22 Maret 2024)