Maladministrasi Awal Indikasikan Korupsi di Desa


Penulis DR Djoko Tjahyo Purnomo MM MSc MH adalah pembina konsorsium organisasi masyarakat Ketua Umun INAKER. Serta pemerhati masalah ekonomi, hukum, sosial politik dan budaya yang tinggal di Jepara.

  • Oleh: DR Djoko Tjahyo Purnomo MM MSc MH

Semarangsekarang.com (Jepara) – Kepala Desa, Lurah atau Petinggi di Jepara, sering diindikasikan korupsi. Padahal situasi tersebut tidak selalu karena ada niat (mens rea) untuk korupsi. Hal ini bisa terjadi karena berawal dari maladministrasi, karena ketiktahuan mereka.

Menurut Pasal 74 Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa menegaskan bahwa, belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang meliputi pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan masyarakat desa, serta tetap berpihak pada sistem pengelolaan yang transparan dan akuntabel.

Untuk mengindikasikan terjadi maladministrasi, seperti dalam laporan pelayanan administrasi kependudukan saja sebagian besar desa ditemukan belum memiliki media penyebaran informasi. Pelayanan administrasi dan prioritas penggunaan dana desa sebagaimana Pasal 10 ayat 3 Permendes Nomor 8 Tahun 2023 Pemerintah Desa berkewajiban untuk melibatkan masyarakat dalam prioritas penggunaan dana nesa dan Pasal 6 Ayat 2 Permendagri Nomor 2 Tahun 2017, yang mengamanatkan agar aparat pemerintahan desa menggelar keterbukaan informasi agar mendorong masyarakat yang partisipatif (publics participations)

Aspek pelayanan publik

Maladministrasi di desa, seperti tidak memberikan pelayanan, permintaan imbalan, berupa uang,barang ataupun jasa (pungli), penyimpangan prosedur, diskriminasi, tidak ada standar pelayanan publik dan pengelolaan pengaduan yang tidak kompeten, tidak tertib administrasi, non partisipatif publik, dan tidak lengkapnya bukti-bukti penggunaan pengelolaan dana desa, sampai pengabaian kewajiban kewenangan.

Aspek filosofis

Desa adalah merupakan elemen pertama dan utama untuk membangun pelayanan publik di suatu negara. Maka penting untuk memberikan perhatian serius berkaitan tata kelola pemerintahan desa termasuk mencegah korupsi masuk desa.

Di sisi lain, faktanya masih banyak perangkat desa termasuk kepala desa, belum dibekali kemampuan kepemimpinan (leadership) yang mumpuni. Kurangnya kemampuan manajemen organisasi dan manajemen tata kelola, dan tertibnya administrasi desa, sampai aspek utama, yaitu pengetahuan anti korupsi dan anti maladministrasi.

Imbasnya pelayanan publik desa tidak maksimal, perangkat atau oknum kepala desa menjadi tersangka korupsi dan perbuatan melawan hukum lainnya, pembangunan dan kesejahtreraan desa lambat. Lebih parahnya, hak warga untuk medapat pelayanan prima menjadi tinggal angan semata-mata.

Menyikapi hal seperti ini, harus ada upaya serius, Pemkab Jepara untuk terlibat aktif dalam upaya peningkatan pelayanan publik desa. Hal ini, termasuk mencegah perilaku koruptif dan maladministratif. Jangan sampai para kepala desa terus berurusan dengan aparat penegak hukum, bolak balik di kepolisian, kejaksaan ataupun pengadilan karena terjerat kasus hukum. Akibatnya akan menghambat pembangunan kesejahteraan warga desa.

Sudah saatnya masyarakat benar-benar merasakan kehadiran pemerintahan desa, dalam wujud pelayanan publik prima yang nyata. Berangkat dari kondisi tersebut, perlunya pemerintah daerah khususnya Pemkab Jepara mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik (public services) di daerah dan perlu berinovasi (inovation) sebagai upaya pencegahan maladministrasi pada kantor-kantor desa

Pemkab harus turut serta melakukan pengawasan yang berbasis pada penyelenggaraan pelayanan publik, upaya pencegahan mal administrasi, serta menjaring keluhan warga. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Sehingga akan diketahui potensi maladministrasi yang terjadi, sehingga ada saran perbaikan yang diharapkan. Untuk dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik di dalam upaya pencegahan maladministrasi pada kantor-kantor desa tersebut.

Selain itu, komitmen kepala daerah dan keaktifan Inspektorat dalam mengupayakan gerakan-gerakan anti maladministrasi, merupakan modal utama terselenggaranya program perubahan ini.Setidaknya ada tiga ciri utama sebuah desa antimaladministrasi.

Pertama, pemenuhan standar pelayanan pada proses penyelenggaraan pelayanan publik di kantor desa

Kedua, partisipasi warga desa terhadap pembangunan desa dan proses penanganan pengaduan pelayanan publik masyarakat di desa.

Ketiga, membentuk Desa Anti Maladministasi dengan didukung oleh peraturan atau keputusan kepala daerah (bupati).

Upaya pencegahan korupsi

1. Dengan mengenali modus korupsi. Modus korupsi dana desa memiliki pola yang sama, contohnya seperti pengadaan barang atau jasa yang tidak sesuai, penggelembungan anggaran, masyarakat tidak dilibatkan dalam musyawarah desa, dan penyalahgunaan dana desa untuk kepentingan pribadi.

2. Dengan meningkatkan Capacity Building. Tingkat Pendidikan Kepala Desa dan perangkat desa penting dalam upaya pencegahan korupsi dalam pengelolaan dana desa. Seorang kepala desa tidak cukup hanya memiliki kepemimpinan yang baik, akan tetapi kepala desa juga harus memiliki kecerdasan dalam pengelolaan dana desa. Kepala desa serta perangkat desa juga harus meningkatkan sumber daya manusia dengan cara pelatihan atau bimbingan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam menjalankan pemerintahan desa.

3. Dengan menguatkan kapasitas pendamping desa. kapasitas pendampingan desa bisa dilakukan dengan mendampingi desa untuk perencanaan, pemantauan, dan pelaksanaan terhadap pembangunan desa serta pemberdayaan masyarakat desa.

Ketiga unsur dan upaya pencegahan korupsi di atas diharapkan bisa membangun komitmen percepatan pelayanan pulik di desa sekaligus menghindarkan dari perilaku koruptif dan maladministratif dengan dilakukan pengawasan secara berjenjang dan evaluasi secara efektif.

Setidaknya dampak nyata yang diharapkan akan muncul secara berkembang di kantor kantor desa yang lengkap standar pelayanan publiknya. Sebagai contoh, menempatkan petugas front office dan pengelola pengaduan yang kompeten, sehingga ahli dapat menindaklanjuti keluhan publik secara professional.

Adil dan solutif, dan yang jauh lebih penting cepatnya perbaikan sikap melayani publik yang berorientasi kepada unggul, tranparan, akuntabel, partisipatif serta berkualitas. Perubahan pelayanan publik yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Terutama menjadikan desa sebagai pusat perbaikan peradaban pelayanan publik bangsa Indonesia. (boedi-SS)

Berita Terkait

Top