Mimpi Mbak Ita Tentang Buku Sejarah Semarang Adalah Asa Kita Semua


Oleh Gunoto Saparie

Semarangsekarang.com (Semarang) Ketika Walikota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menginginkan adanya penulisan sejarah Kota Semarang yang lebih lengkap, detil, dan komperensif, saya kira patut diapresiasi. Betapa tidak? Sampai saat ini penulisan sejarah Kota Semarang bukannya tidak ada, namun terkesan masih fragmentaris, belum sepenuhnya memuaskan. Harus diakui, penulisan sejarah Kota Semarang belum mendapat perhatian serius dari kalangan sejarawan akademis. Buku-buku sejarah Kota Semarang yang ditulis Hartono Kasmadi, Wiyono MA, RZ Leirissa, M. Sunjata Kartadarmadja, Amen Budiman, Rukardi, Jongkie T, Dewi Yuliati, Endang Susilowati, Titiek Suliyati, Djawahir Muhammad, Tri Widhyastono, dan lain-lain, boleh dikatakan masih jauh dari harapan kita.

Sampai saat ini keluhan mengenai masih minimnya penggunaan landasan konseptual dan penggunaan teori dalam kajian perkotaan memang sering terdengar. Bahwa belum terlalu banyak kajian dengan landasan teori yang kuat, secara metodologis dan teoritis. Secara umum tulisan-tulisan tersebut belum memiliki tinjauan konseptual dan teoritis yang memadai, bahkan cenderung hanya mendeskripsikan atau menggambarkan suasana dan kondisi yang ada pada objek kajiannya.

Buku-buku sejarah Kota Semarang memang ada yang bukan hanya sekadar mendeskripsikan, namun telah mengungkapkan kompleksitas pada objek yang dikajinya, misalkan struktur masyarakat dan kota yang kompleks atau relasi-relasi yang saling berkait. Persoalannya, semua itu dibangun dengan masih minimnya penggunaan asumsi-asumsi dasar teoretis dari suatu pendekatan atau paradigma.

Harus diakui, telah sekian lama penulisan penulisan sejarah Indonesia didominasi oleh sejarah politik, sejarah tokoh-tokoh besar, atau juga warisan sejarah kerajaan masa lampau. Dalam dekade terakhir memang mulai ada perhatian terhadap penelitian dan penulisan sejarah kota. Dalam historiografi sejarah perkotaan, telah ada tulisan-tulisan “perintis” yang membahas tentang kota dalam perspektif sejarah.

Sejak abad ke-20 kota-kota di Indonesia telah mengambil banyak kegiatan dari pedesaan. Pergeseran dari desa ke kota terjadi bersamaan dengan perubahan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu terjadi pergeseran ketika budaya kota menggantikan budaya desa, setelah kota- kota banyak terpengaruh oleh masuknya unsur-unsur budaya modern. Tidak terkecuali Kota Semarang.

 

Asal Kata Semarang

Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah. Mengapa disebut Semarang? Hal itu berkaitan dengan pohon asam yang tumbuh berjauhan atau jarang di wilayah tersebut. Daerah tersebut pun diberi nama Semarang, di mana berasal dari kata “asem” yang  “arang.”

Asal usul Semarang berkaitan dengan Kerajaan Demak yang merupakan salah satu kerajaan bercorak Islam. Ketika itu di Kerajaan Demak terdapat pangerag bernama Raden Made Pandan yang memiliki putra bernama Raden Pandanarang. Raden Made Pandan mengajak anaknya dan para pengiringnya untuk meninggalkan kesultanan Demak. Mereka pergi ke arah barat untuk mencari daerah baru yang akan ditempati.

Berhari-hari dalam perjalanan, akhirnya Raden Made Pandan berhenti di daerah yang dirasa cocok untuk didiami. Di tempat tersebut, Raden Made Pandan membuka hutan dan mendirikan pondok pesantren serta lahan pertanian. Raden Made Pandan juga mengajarkan agama Islam kepada para pengikutnya. Lama kelamaan pondok pesantren itu mengundang banyak orang untuk datang menimba ilmu agama di tempat tersebut. Sebelum meninggal, Raden Made Pandan pun berpesan kepada putranya agar bisa menggantikannya menjadi guru agama Islam di tempat tersebut. Raden Pandanarang diminta untuk menyebarkan agama Islam di tempat itu serta mengelola tanah pertanian di sekitar daerah itu.

Wasiat ayahnya itu benar-benar diperhatikan oleh Raden Pandanarang. Raden Pandanarang atau yang bergelar Pandan Arang II menjadi seorang guru agama Islam kepada masyarakat sekitar, serta mengelola lahan pertanian. Suatu hari saat Raden Pandanarang menggarap lahan pertanian bersama para pengikutnya, tiba-tiba terjadi sesuatu yang aneh. Di antara pohon yang hijau subur itu terdapat beberapa pohon asam yang tumbuh saling berjauhan. Orang-orang yang melihat hal itu juga heran, mengapa di tanah yang subur itu tumbuh pohon asam yang saling berjauhan. Raden Pandanarang lantas menyebut daerah tersebut sebagai Semarang. Asal nama Semarang tersebut dari kata asem (pohon asem) yang tumbuh berjauhan atau jarang-jarang (arang dalam bahasa Jawa).

Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka Sultan Hadiwijaya memutuskan untuk menjadikan Semarang yang dipimpin Pandan Arang II setingkat dengan kabupaten. Pandan Arang II dan Sultan Pajang yang berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga kemudian menetapkan tanggal 2 Mei 1547 sebagai hari berdirinya Kota Semarang. Hari berdirinya Kota Semarang tersebut juga bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal 954 H. Pandan Arang II yang kelak dikenal sebagai Sunan Bayat kemudian juga ditetapkan sebagai Bupati Semarang Pertama. Sementara sejak tahun 1945, Kota Semarang telah ditetapkan menjadi kota praja dengan beberapa pejabat walikota yang bertugas sebagai kepala pemerintahan.

Kota Semarang, sebagaimana kota-kota besar lain di Indonesia, merupakan perwujudan kompleksitas berbagai bidang. Baik bidang sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan, di mana selalu bergerak, tumbuh, berkembang, dan juga merespon perubahan zaman. Kota Semarang pun bergerak menuju sebuah identitas baru meninggalkan identitas lamanya. Perubahan ini merupakan konsekuensi logis dari aplikasi modernisasi yang mulai bergulir sejak awal abad ke-20.

Perkembangan Kota Semarang sejak awal abad ke-20 hingga saat ini telah mengalami perkembangan sangat pesat dengan kompleksitas elemen dan permasalahan yang muncul. Artinya, Kota Semarang tidak sesederhana pada waktu dulu lagi, namun begitu kompleks dalam berbagai bidang. Oleh karena itu dibutuhkan metodologi yang dapat menelusuri dan mengungkapkan bagian-bagian atau strukturnya hingga pada yang terkecil.

Sumber-sumber untuk menulis sejarah Kota Semarang meliputi beragam jenis dokumen yang menjadi sumber informasi berharga. Ini termasuk peta-peta kota, catatan-catatan sejarah, narasi-narasi tertulis, serta karya seni yang mencerminkan sejarah dan perkembangan Kota Semarang. Selain itu, karya ilmiah seperti skripsi dan tesis, baik yang terkait langsung dengan sejarah Kota Semarang maupun topik terkait lainnya, juga menjadi sumber yang penting dalam menyusun informasi terinci mengenai kota ini. Di samping itu, sumber-sumber digital juga memiliki peran yang semakin penting dalam penulisan sejarah Kota Semarang.

Saya kira, ide dan rencana Mbak Ita—panggilan akrab Walikota Semarang—patut disambut baik, Ia merupakan angin bagi upaya penulisan sejarah Kota Semarang yang lebih memadai.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Provinsi Jawa Tengah

Berita Terkait

Top