Mudik : Tradisi Berkelana di Tanah Air Indonesia
Oleh Nia Samsihono
Semarangsekarang.com Setiap tahun, menjelang datangnya Hari Raya Idulfitri, jutaan orang Indonesia memulai perjalanan panjang mereka pulang ke kampung halaman. Fenomena ini dikenal sebagai “mudik”, sebuah tradisi yang telah mengakar dalam budaya Indonesia selama berabad-abad. Mudik bukan sekadar perjalanan fisik; lebih dari itu, itu adalah pencarian akan kedekatan dengan keluarga, budaya, dan akar identitas.
Sejarah Mudik
Mudik memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan tradisi Indonesia. Dalam budaya Jawa kuno, misalnya, mudik diidentifikasi sebagai “Pulang Kampung” atau “Pulang Basah”, yang merujuk pada tradisi bagi para pekerja migran untuk pulang ke desa mereka pada musim hujan ketika tidak ada pekerjaan di ladang. Namun, rupanya ada beberapa informasi tentang asal-usul kata mudik. Ada yang menyatakan itu berasal dari singkatan bahasa Jawa ngoko ‘mulih dhisik’ yang artinya adalah ‘pulang dulu’. Ada juga yang mengatakan bahwa istilah mudik berasal dari kata ‘udik’ bahasa Melayu udik yang artinya hulu atau ujung. Masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai pada masa lampau sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk. Setelah selesai urusannya, maka kembali pulang ke hulu, ke udik, pada sore harinya, yaitu mudik.
Fenomena mudik menjadi terkenal pada era modern dengan berkembangnya transportasi dan infrastruktur. Sejak itu, mudik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri, yaitu ketika masyarakat berbondong-bondong untuk merayakan momen suci ini bersama keluarga dan kerabat terdekat. Saya masih ingat, dan itu berpuluh-puluh tahun yang lalu, sehabis acara salat Idulfitri di alun-alun kabupaten di tempat bapakku bekerja, bapak langsung membawa kami ke “ngetan”, ke “ndesa”, ke “simbah”, “mulih”, dan lainnya. Kegiatan itu hampir setiap tahun dilakukan orang tuaku. Sehingga laku itu, kami ikuti ketika kami menua dan beranak pinak, yaitu “pulang”, “mudik”. Persiapan “pulang” bermacam-macam bentuknya. Tentu saja mempersiapkan oleh-oleh untuk keluarga yang akan kita datangi, baju yang akan dikenakan, bekal dana yang cukup untuk perjalanan berangkat dan kembali. Saya membayangkan perilaku biawak yang berkandang di plafon rumah. Biawak itu bertelur dan beranak di plafon itu. Setelah anak-anaknya besar pergi dari plafon mengembara entah ke mana mencari makan. Anehnya saat-saat tertentu, para biawak itu balik ke plafon itu untuk tinggal dan bertelur. Persis seperti perilaku manusia, “mudik”. Itu juga saya amati pada ayam di perkampungan yang dibiarkan lepas, pada saat-saat tertentu, biasanya petang, ayam itu datang sendiri, pulang ke kendang. Ada naluri yang sama antara manusia dan binatang untuk kembali ke tempat ia berasal.
Tantangan dan Antusiasme
Mudik, bagaimanapun, tidaklah tanpa tantangan. Setiap tahun, jalan-jalan di seluruh negeri menjadi padat oleh arus lalu lintas yang luar biasa, sementara terminal bus, stasiun kereta api, dan pelabuhan menjadi tempat-tempat yang penuh sesak dengan penumpang yang ingin pulang. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu beberapa jam dapat berubah menjadi perjalanan yang melelahkan selama berhari-hari. Meskipun menempuh tantangan, semangat mudik tidak pernah pudar. Orang-orang bersiap dengan penuh semangat untuk pulang ke kampung halaman, membawa serta harapan, hadiah, dan kerinduan akan pertemuan dengan keluarga yang telah lama tidak terlihat.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Mudik memiliki dampak yang signifikan, tidak hanya dari segi sosial tetapi juga ekonomi. Secara sosial, mudik memperkuat ikatan keluarga dan mempertahankan nilai-nilai tradisional. Ini adalah waktu orang-orang dapat berkumpul, berbagi cerita, dan merayakan persatuan di tengah perbedaan. Sang anak masih dapat melihat dan menghormati orang tua, si cucu mengenal kakek dan nenek, paman dan bibi, sepupu, ipar, tetangga, dan yang lainnya. Ada ikatan emosional secara sosial ketika kegiatan mudik itu dilakukan.
Dari segi ekonomi, mudik memiliki efek besar pada sektor transportasi dan pariwisata. Maskapai penerbangan, operator kereta api, dan perusahaan bus melihat peningkatan pesat dalam permintaan layanan mereka, sementara destinasi pariwisata lokal juga mengalami lonjakan kunjungan. Perputaran uang di pedesaan juga berkembang. Banyak pendatang yang mudik membelanjakan uangnya. Ada semacam iklan tentang makanan, buah-buahan, atau benda-benda yang khas di wilayah itu yang dilihat oleh para pendatang. Ini meningkatkan pengetahuan masyarakat secara timbal balik tentang wilayah tempat mudik itu terjadi. Para pendatang yang mudik menjadi acuan penduduk setempat, penampilannya, gaya hidupnya, tutur katanya. Demikian sebaliknya, penduduk setempat menjadi sarana untuk belajar tentang kehidupan di pedesaan bagi para pendatang yang mudik.
Transformasi Digital dan Mudik
Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi digital telah memainkan peran yang semakin penting dalam pengalaman mudik. Aplikasi pemesanan tiket daring (online), informasi lalu lintas sewaktu (real-time), dan layanan pengiriman barang telah memudahkan orang-orang untuk merencanakan perjalanan mereka dengan lebih efisien. Hal ini telah mengurangi beberapa tantangan tradisional yang terkait dengan mudik.
Memperkaya Pengalaman Mudik
Mudik tetap menjadi momen yang dinanti-nantikan bagi banyak orang Indonesia. Pengorbanan dan ketidaknyamanan perjalanan menjadi sepadan dengan kebahagiaan dan kehangatan yang ditemukan di kampung halaman. Seiring dengan berjalannya waktu, mudik terus berevolusi, tetapi nilainya yang mendalam dan maknanya yang kaya dalam budaya Indonesia tetap utuh. Ia adalah simbol kesatuan, cinta, dan solidaritas di antara masyarakat Indonesia, sebuah tradisi yang tetap hidup dan berkembang setiap tahunnya. Melalui mudik, nilai-nilai budaya, seperti gotong royong dan rasa saling menghormati, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perjalanan ke kampung halaman sering kali dianggap sebagai peluang untuk beristirahat lepas dari rutinitas sehari-hari, melepas penat, dan melepas stres perkotaan karena atmosfer yang lebih tenang dan dekat dengan alam yang biasanya terdapat di pedesaan. Meskipun mudik memiliki banyak manfaat, penting juga untuk mempertimbangkan dampak negatifnya, seperti kemacetan lalu lintas, kecelakaan transportasi, dan dampak lingkungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mengelola mudik dengan bijaksana, seperti dengan meningkatkan infrastruktur transportasi, mengedukasi masyarakat tentang keselamatan perjalanan, dan mempromosikan alternatif transportasi yang ramah lingkungan.
Pemeliharaan ikatan keluarga sangat penting dalam kehidupan manusia. Keluarga adalah sumber dukungan emosional utama. Ketika kita mengalami kesulitan atau bahkan saat merayakan kebahagiaan, keluarga adalah orang-orang pertama yang ada di samping kita. Keluarga adalah tempat pertama individu mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan etika. Memelihara ikatan keluarga yang kuat memungkinkan generasi muda untuk mengembangkan pemahaman yang baik tentang moralitas, tanggung jawab, dan pentingnya hubungan yang sehat. Melalui ikatan keluarga, nilai-nilai budaya dan tradisi dapat dilestarikan dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mudik merupakan salah satu cara menguatkan ikatan kekeluargaan dan tradisi mudik akan ada turun-temurun. Yuk, kita mudik!
Nia Samsihono, Ketua Umum Satupena DKI Jakarta dan Ketua Komunitas Perempuan Bahari