Pentingkah Sastra Masuk Kurikulum
Nia Samsihono : Ketua Umum Satupena DKI Jakarta
“Lebih baik jadi kutu buku
daripada kelak mati kutu”
Semarangsekarang.com,- Sastra merupakan cerminan budaya, sejarah, dan nilai-nilai suatu bangsa. Di Indonesia, dengan kekayaan budaya dan sejarah yang begitu beragam, sastra memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan memperkaya wawasan generasi muda. Namun, apakah penting memasukkan sastra dalam kurikulum pendidikan di Indonesia? Para siswa sekolah dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan menengah telah dibebani dengan mata pelajaran yang banyak yang menyita waktu bermain mereka sebagai generasi muda. Benar bahwa karya sastra mengajak siswa untuk berpikir kritis melalui analisis teks, karakter, dan plot. Siswa diajak untuk menginterpretasikan makna dan pesan yang terkandung dalam karya sastra, yang membantu mereka dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Karya sastra mendorong imajinasi dan kreativitas siswa. Membaca dan menulis karya sastra dapat menginspirasi siswa untuk berpikir di luar kotak dan mengeksplorasi ide-ide baru.
Sastra adalah cermin budaya. Melalui karya sastra, siswa dapat mempelajari berbagai tradisi, adat, dan nilai-nilai yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini dapat memperkuat rasa cinta tanah air dan kebanggaan terhadap identitas nasional. Banyak karya sastra yang mengandung pesan moral yang mendalam. Melalui cerita dan karakter tokoh, siswa dapat belajar tentang nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, empati, dan tanggung jawab. Membaca karya sastra dapat memperkaya kosakata dan meningkatkan kemampuan bahasa siswa. Karya sastra sering menggunakan bahasa yang indah dan kaya, yang dapat menjadi sumber belajar yang berharga bagi siswa. Menulis karya sastra seperti puisi atau cerita pendek membantu siswa mengasah kemampuan menulis mereka, baik dari segi struktur, gaya bahasa, maupun ekspresi diri.
Saya tidak setuju memasukkan karya sastra ke dalam kurikulum menjadi bahan ajar yang harus diujikan kepada siswa. Ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Tidak semua sekolah memiliki akses terhadap buku-buku sastra yang berkualitas. Solusinya, pemerintah dan pihak terkait perlu bekerja sama untuk menyediakan buku-buku sastra di perpustakaan sekolah. Banyak siswa mungkin merasa bahwa sastra adalah mata pelajaran yang membosankan. Guru perlu menggunakan metode pengajaran yang menarik, seperti diskusi kelompok, drama, dan projek kreatif untuk membuat sastra menjadi hidup dan menarik bagi siswa. Namun, apakah guru-guru siap untuk mengajarkan itu semua dan menguji hasil ajaran sastra ke siswa?
Memasukkan sastra dalam kurikulum pendidikan di Indonesia adalah langkah yang sangat penting dan bermanfaat tapi perlu pemikiran dan diskusi terbuka yang panjang dengan para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan sastra. Banyak buku yang dipilih oleh para kurator yang dipercaya oleh Kemendikbudristek agar memilih buku untuk kepentingan sastra masuk kurikulum pengajaran ternyata menuai kritik dari masyarakat. Saya tidak setuju sastra masuk kurikulum karena akan membebani siswa, guru, dan orang tua siswa untuk menyediakan buku-buku yang diwajibkan Kemendikbud. Sekadar ilustrasi, bahwa saya menjadi manusia dan hidup di alam kehidupan di tanah air Indonesia itu sampai setua ini tidak membaca karya sastra lewat sekolah SD, SMP, SMA secara khusus. Namun mendapat pengetahuan sastra dari guru yang mendongeng di sela-sela pelajarannya ketika guru melihat siswa malas atau nakal lalu diberi dongeng yang berisi nasihat. Dongeng itu sastra, tapi guru secara spesifik tidak mengatakan bahwa ini sastra. Saya mendapatkan pelajaran yang berkaitan dengan karya sastra ketika diajak menonton wayang oleh kakek saya. Cerita dalam wayang itu berasal dari karya sastra Mahabarata dan Ramayana. Di SD, sekolah saya ketika itu, guru sering mengajak siswa ke alam, seperti ke sungai untuk mengenal sungai berbatu di lembah sebuah gunung. Sekolah SD saya di pedesaan di Lembah sebuah gunung. Guru menjelaskan nama batu kerikil atau batu bongkahan atau pasir. Guru bercerita mengapa batu-batu itu ada di sungai. Sepanjang jalan, siswa diperkenalkan nama jenis rumput dan tanaman yang tumbuh di tepi jalan. Ketika SMP, juga tidak ada buku sastra yang dijejalkan guru ke otak saya, tetapi guru saya sering membuat pantun yang spontan beliau buat dan kita siswa harus membalas pantun itu di sela mata pelajaran Ilmu Sejarah. Di SMA, sekolah saya mempunyai perpustakaan yang memajang banyak buku sastra bukan buku paket pelajaran sekolah. Ada buku-buku karya Shakespeare, ada buku-buku cerita bangsa Indian karya Old Shatterhand, ada buku Di Bawah Bendera Revolusi, Sitti Nurbaya, Azab dan Sengsara, ada buku Injil, ada Al-Quran dan siswa tidak dikejar-kejar membuat sinopsis buku dari perpustakaan. Saya tertarik masuk perpustakaan karena beberapa guru saya di SMA selalu memasukkan selingan cerita dari buku yang mereka baca dan selalu diberi penjelasan akhir, “Lengkap cerita, silakan baca buku itu, ada di perpustakaan.”
Sastra benar-benar saya pelajari dan saya wajib membaca karya sastra yang sudah terbit itu ketika saya kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Sebagai mahasiswa fakultas sastra, tentu saja seluruh buku sastra dari zaman dahulu hingga sekarang wajib saya baca apa pun bentuknya, tidak pilih-pilih ini buka bermoral atau tidak bermoral, buku saduran atau terjemahan, ini karya sastra estetis atau tidak, ini buku Lekra atau bukan, ini buku porno atau tidak. Semua saya baca. Dari bacaan itu saya membuat analisis kritik untuk karya dan penulisnya. Saya membuat sinopsis dari buku-buku sastra itu. Saya bisa menganalisis karya sastra dari ilmu-ilmu sastra yang diberikan oleh para dosen saya.
Jadi tidaklah penting siswa SD, SMP, SMA harus atau wajib baca karya sastra sebagai bahan ajar. Tidak penting. Kemauan dan kemampuan membaca karya sastra itu terpikat oleh guru-guru yang menggunakan acuan karya sastra saat guru itu menyampaikan pengetahuan sastra atau bacaan sastra ketika mengajar. Justru yang sangat penting seharusnya para guru seluruh bidang ilmu sampai kepala sekolah dan staf administrasi di SD, SMP, SMA wajib membaca karya sastra yang telah dikumpulkan oleh kurator yang diberi tugas oleh Kemendikbudristek. Para guru, staf, dan kepala sekolah dapat berdiskusi setelah membaca karya sastra itu. Lalu guru membagikan pengetahuan bacanya kepada siswa di sela-sela pelajaran.
Pentingkah sastra masuk kurikulum? Saya katakan tidak! Wajibkah siswa SD, SMP, SMA baca karya sastra dan menganalisisnya? Tidak. Kepala sekolah, guru, staf administrasi sekolah, satpam sekolah justru yang wajib membaca karya 170-an karya sastra yang telah dikumpulkan Kemendikbudristek.