Polemik Sastra Masuk Kurikulum

Gunoto Saparie : Ketua Umum Satupena Jawa Tengah
Semarangsekarang.com,- Ketika Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek meluncurkan Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang dibingkai dalam tagline “Sastra Masuk Kurikulum” Senin 20 Mei 2024, terus terang saya begitu gembira. Ada 177 judul buku fiksi direkomendasikan oleh para kurator yang terdiri dari para akademisi, sastrawan, dan para guru dengan sebaran 43 karya untuk SD sederajat, 29 judul untuk jenjang SMP, dan 105 untuk SMA/SMK/MA. Akan tetapi, kegembiraan itu lenyap seketika ketika ternyata buku panduan yang diluncurkan tersebut bermasalah dan terkesan tidak digarap secara serius.
Nirwan Dewanto, misalnya, meminta kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses penerbitan Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra itu untuk menghapus kumpulan puisi yang berjudul Jantung Lebah Ratu dari daftar buku yang direkomendasikan. Nirwan melihat buku panduan tersebut dibuat “asal-asalan”, tidak memenuhi standar editorial dan perwajahan buku yang layak. Banyak kekeliruan informasi, baik yang dimuat dalam sinopsis buku maupun profil sang penulisnya.
Akmal Nasery Basral menunjukkan bagaimana fatalnya kesalahan isi buku pedoman tersebut. Akmal yang lahir di Jakarta tertulis lahir di Bukittinggi. Tahunnya pun berubah dari 28 April 1968 ke 3 Juli 1946. Jejak pendidikannya pun juga keliru. Tertulis Akmal menempuh pendidikan dasar dan menengah di Bukittinggi kemudian melanjutkan ke Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang.
Kenyataannya, Akmal tidak pernah menempuh pendidikan di Bukittinggi dan ia justru melanjutkan ke FISIP Universitas Indonesia. Kekeliruan biodata juga terjadi pada Sutardji Calzoum Bachri yang disebut telah meninggal dunia, padahal yang bersangkutan masih segar bugar.
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek telah dimulai oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek pada tahun 2011. Saya ingat ketika itu dikumpulkan di Hotel Resort Prima Cisarua bersama Badruddin Emce (Cilacap), Lanang Setiawan (Tegal), dan Wijang Wharek (Surakarta), Ahmadun Yosi Herfanda (Tangerang), Sapardi Djoko Damono dan Ayu Utami (keduanya dari Jakarta), Ayu Sutarto (Jember), Jakob Sumardjo (Bandung), D. Kemalawati (Aceh), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Anwar Putra Bayu (Palembang), Dimas Arika Mihardja (Jambi), Abidah El Khalieqy (Yogyakarta), Ribut Wijoto (Surabaya), dan Hanna Fransisca (Singkawang).
Ketika itu kami diminta menyusun daftar buku sastra yang akan direkomendasikan oleh Badan Bahasa untuk pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Bertahun-tahun saya tidak tahu nasib daftar rekomendasi buku sastra yang disusun tim yang dipimpin Sapardi itu. Bertahun-tahun pula saya menunggu kelanjutannya. Oleh karena itu, saya patut gembira ketika Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan meluncurkan “Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” tersebut. Namun, ternyata buku panduan setebal 784 halaman tersebut tidak layak menjadi pedoman.
Saya tahu, memang tidak mudah bagi para kurator untuk memilih 177 judul buku sastra untuk direkomendasikan. Para kurator harus mencermati genre dan tema, relevansi cerita dengan situasi dan selera siswa, sesuai tingkatannya: SD, SMP, atau SMA. Salah seorang kurator, Eka Kurniawan, mengakui betapa sulitnya mencari buku sastra yang cocok dengan anak usia SMP. Akibatnya, jumlah judul buku untuk kategori ini yang paling sedikit dibandingkan dua kelompok umur lainnya. Tim kurator konon bingung, apakah memasukkan buku sastra anak atau fiksi remaja untuk mereka. Para kuratornya adalah Abidah El-Khalieqy, Dewi Kharisma Michellia, Eka Kurniawan, Felix K. Nesi, Oka Rusmini , M. Aan Mansyur, Mahfud Ikhwan, Martin Suryajaya, Okky Madasari, Ramayda Akmal, Reda Gaudiamo, Saras Dewi, Triyanto Triwikromo, Zen Hae, Agustinus Prih Adiartanto, Iin Indriyati, dan Sekar Ayu Adhaningrum.
Sastra Masuk Kurikulum merupakan program yang diinisiasi oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan sejak 2023 dengan mengumpulkan beberapa sastrawan, akademisi, dan pendidik yang memiliki perhatian khusus terhadap pemanfaatan sastra dalam pembelajaran di sekolah. Program ini dibuat oleh Kemendikbudristek RI guna memperkuat kompetensi dan budaya literasi pelajar dengan memakai buku sastra untuk meningkatkan minat baca, empati, kreativitas, dan nalar kritis, sehingga siswa dapat menjadi pembaca kritis sekaligus reflektif.
Program “Sastra Masuk Kurikulum” adalah turunan dari program Episode Merdeka Belajar 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Program ini dirancang untuk memperkenalkan siswa pada beragam karya sastra dari berbagai budaya dan periode waktu.
Program “Sastra Masuk Kurikulum” penting karena dari sini pendidik memanfaatkan karya sastra dalam implementasi Kurikulum Merdeka untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas serta nalar kritis siswa. Selain itu, melalui sastra, kita memasuki dunia di mana imajinasi menjadi kenyataan. Cerita-cerita menakjubkan, puisi-puisi yang indah, dan drama-drama yang memukau menjadi jendela ke dalam kekayaan kreativitas manusia. Sastra mengajarkan kita bahwa tidak ada batasan untuk apa yang dapat kita ciptakan.
Di dalam cerita, kita menemukan cermin yang mencerminkan kemanusiaan kita. Sastra membawa kita ke dalam pikiran dan perasaan karakter-karakternya, membuka mata kita terhadap pengalaman manusia yang beragam dan kompleks. Dengan memahami sastra, kita memahami diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita dengan lebih dalam.
Namun, sastra bukan hanya tentang membaca cerita, tetapi juga tentang menganalisis dan menafsirkan pesan yang tersembunyi di balik kata-kata. Ini membangun keterampilan berpikir kritis yang penting dalam menganalisis teks, mengevaluasi argumen, dan merumuskan pendapat.
Sastra juga dapat memperkenalkan dan membantu memahami sejarah dan budaya bangsa Indonesia. Sastra memberikan gambaran tentang bagaimana karakter dan indentitas manusia Indonesia. Ini yang akan membangun kesadaran berbangsa dan berbudaya Indonesia yang merdeka.
Program ”Sastra Masuk Kurikulum” dimaksudkan sebagai ruang belajar yang luas bagi guru untuk mengeksplorasi diri seluas-luasnya, khususnya dalam pengalaman bersastra. Guru dan murid diharapkan dapat sama-sama menikmati membaca karya-karya sastra Indonesia, mengobrolkannya secara aman dan nyaman di ruang kelas, sehingga dapat memaknai perjalanan bersastra ini sebagai pengalaman yang mengesankan.
Saat membawakan buku-buku ini di kelas, guru sangat disarankan untuk mendampingi murid selama membaca. Jadikan program ini sebagai kesempatan untuk sama-sama merasakan pengalaman bersastra. Bukan murid saja yang diharapkan bisa mengenal karya-karya sastra Indonesia yang luar biasa, guru juga memiliki ruang bersastra yang sama.
Mengacu pada pernyataan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo, karya sastra adalah media pembelajaran yang sangat potensial. Karya sastra, katanya, mengundang pembaca untuk menghayati dunia batin tokoh-tokoh yang melihat dan mengalami sesuatu dengan caranya masing-masing. Karya-karya sastra terbaik juga mengupas isu-isu kompleks dan menyajikan perdebatan moral yang mendorong pembaca keluar dari pemikiran hitam-putih, dan memikirkan ulang opini serta prasangka-prasangka yang mungkin tak disadari sebelumnya. Akan tetapi, sayang sekali, tujuan mulia harus berantakan karena keteledoran para kuratornya. Kehebohan dan kegaduhan pun tak terelakkan.