Proses Kreatif Novel ‘Bau’


Oleh: Gunoto Saparie

Semarangsekarang.com – Saya mula-mula tertarik menulis novel ketika bergaul akrab dengan Korrie Layun Rampan di Yogyakarta pada tahun 1975-1978. Apalagi Korrie ketika itu bilang bahwa menulis puisi atau cerita pendek mudah. Cukup duduk di depan mesin tulis dua-tiga jam puisi atau cerpen berhasil diselesaikan. Namun, menulis novel membutuhkan waktu lebih panjang. Bisa berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Novelis adalah pengarang bernapas panjang.

Ketika Korrie memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 1976, saya semakin terpacu untuk menulis novel. Novel Korrie itu pada mulanya merupakan sebuah cerpen berjudul “Upacara” yang kemudian dikembangkan. Saya pun ikut-ikutan mengembangkan sebuah cerpen menjadi novel dan kemudian dimuat di Mingguan Bahari secara bersambung berjudul “Selamat Siang, Kekasih” pada tahun 1976.

Ternyata sejumlah pengarang lain melakukan hal yang sama saat menulis novel, mengembangkan sebuah cerpen, dipanjang-panjangkan, ditambah tokoh-tokohnya.
Novel Bau (terbitan Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020) ini pun pada mulanya sebuah cerpen berjudul “Sang Baureksa”. Rasanya sayang kalau tidak dikembangkan. Cerita kepahlawanan, patriotisme, cinta tanah air, dari tokoh semacam Baureksa, Bupati Kendal pertama, tentu menarik karena ada “bau-bau” sejarahnya. Judul “Bau” itu untuk membuat orang penasaran, karena mengira ia merupakan kata lain dari “aroma”. Padahal itu adalah nama panggilan Baureksa. Bos Pelataran Sastra Kaliwungu, Bahrul Ulum Amalik, pun tertarik untuk menerbitkannya secara sangat terbatas.

Kebetulan saya akrab dengan beberapa orang yang sangat menyukai sejarah, terutama tentang Kabupaten Kendal. Mereka adalah Amen Budiman, Abdul Karim Husain, Djojo Gunadi, Ong Hok Ham, dan Susatyo Darnawi, yang kebetulan kelimanya telah meninggal. Semoga mereka tidur damai di alam barzakh sampai hari kebangkitan tiba. Amin.

Saya meminjam sejumlah buku mereka, namun ada yang belum sempat saya kembalikan. Ketika itu Amen dan Susatyo pernah berdebat di depan saya ketika tanggal penyerangan pasukan Sultan Agung di bawah kepemimpinan Panglima Perang Kerajaan Mataram Baureksa ke Batavia dijadikan patokan Hari Jadi Kabupaten Kendal. Amen tidak setuju, karena sebenarnya saat penyerangan ke Batavia itu Bau berkhianat. Ia jatuh cinta kepada putri Pangeran Jayakarta yang cantik jelita dan tidak kembali ke Mataram. Sultan Agung marah dan mengirim utusan untuk memanggil Bau. Karena pengkhianatan itu Bau dihukum mati oleh Sultan Agung bersama istri dan anak-anaknya.

Susatyo menanyakan sumber informasi itu kepada Amen, tetapi sejarawan otodidak penulis buku Lelaki Perindu Lelaki itu hanya tertawa. Ternyata sumber Amen dari ketoprak yang ia tonton. “Dasar sejarawan ora tau sekolah,” gerutu Susatyo.

Hari Jadi Kabupaten Kendal ditetapkan pada tanggal 28 Juli. Tanggal itu diambil dari momen pengangkatan Bau oleh Sultan Agung Mataram (Islam) Prabu Hanyokrokusumo pada 12 Rabiul Awal 1014 H atau 28 Juli 1605 sebagai Bupati Kendal dengan gelar Tumenggung Baureksa. Makam Bau berada di Lebaksiu Tegal. Memang, wilayah Kabupaten Kendal dulu membentang sepanjang pantai utara dari Tegal sampai Jepara.

Akhirnya saya memang semakin intens untuk mendalami sejarah Kabupaten Kendal. Saya sering menghabiskan waktu untuk membaca dan mengumpulkan bahan mengenai tokoh dan kejadian sejarah Kabupaten Kendal dari toko buku, kawan, dan perpustakaan. Akan tetapi, saat menulis Bau, tentu saja pikiran dan imajinasi saya melayang ke zaman kolonial Belanda. Saya berusaha menciptakan latar jaman ora enak dalam novel saya. Saya pun berusaha menunjukkan karakter Bau yang keras, jujur, lugu, dengan sikap kejawen-nya. Bau ini sebenarnya abangan, namun karena tinggal di Kaliwungu, yang ketika itu menjadi ibukota Kabupaten Kendal, ia sembahyang di langgar juga.

Dengan novel Bau ini saya ingin mengungkapkan tentang kolonialisme, nasionalisme, dan perjuangan rakyat di zaman penjajahan Belanda. Saya ingin bercerita tentang bentuk tindakan kolonialisme yang dilakukan bangsa Eropa terhadap bangsa pribumi. Saya ingin bercerita tentang nasionalisme yang bertujuan untuk memperjuangkan kehormatan bangsa pribumi.

Dalam puisi saya tidak mampu melakukan hal itu. Hal itu terjadi, karena kata-kata abstrak seperti kolonialisme sering hanya menjadi tempelan ketika masuk ke dalam puisi. Bentuk dan isi tidak menyatu. Dalam hal ini saya iri dengan Rendra, Taufiq Ismail, atau Gus Mus, yang berhasil merekam gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat, di mana menjadi inspirasi lahirnya puisi.

Dalam novel, saya bisa bebas berbicara tentang fenomena dan permasalahan dalam masyarakat untuk dijadikan objek. Ia bisa masuk dalam narasi atau dialog. Fenomena sosial yang menarik perhatian saya untuk dijadikan objek penulisan novel adalah masa kolonialisme. Dalam hal ini, harus saya akui, saya belajar tentang hal ini dengan membaca novel-novel yang menceritakan tentang kolonialisme dan nasionalisme, misalnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Abdoel Moeis, Remy Sylado, dan lain-lain.

Sejak awal kedatangan bangsa kolonial Belanda di Indonesia, dengan VOC-nya mereka telah mempunyai gambaran mengenai bangsa pribumi. Mereka dapat dengan mudah menguasai dan menaklukkan bangsa pribumi. Bagi mereka, manusia pribumi digambarkan sebagai manusia bawah yang tak berpendidikan, bodoh, primitif, dan terbelakang. Gubernur VOC, JP Coen terkejut ketika menemukan ada Baureksa, Bupati Kendal pertama, yang sulit ditaklukkan. Baureksa adalah bekas pimpinan bajak laut yang diangkat sebagai Panglima Perang dan Bupati Kendal oleh Sultan Agung.

Bentuk tindakan penghinaan bangsa kolonial Eropa terhadap bangsa pribumi ditolak oleh Bau. Ketika VOC ingin mendirikan loji di Jepara, Baureksa pun menolaknya secara halus, yaitu dengan syarat loji itu terbuat dari bambu. Padahal Sultan Agung mengizinkan demi lancarnya perdagangan beras dengan Kompeni. Kebenciannya terhadap Kompeni membuat Bau tidak bisa diajak kompromi, meskipun harus melanggar perintah Sultan Agung.
Penguasaan wilayah bangsa lain merupakan salah satu tujuan kolonial bangsa penjajah. Dengan menaklukkan suatu wilayah, maka bangsa penjajah dapat melakukan semua tujuan kolonialnya. Bau tahu benar hal itu. Oleh karena itu, perlawanan terhadap Kompeni terus dilakukan, meskipun harus ditegur Sultan Agung. Padahal Kompeni bukan hanya merampas wilayah jajahan, tetapi juga merampas hak bangsa terjajah.

Dengan Bau ini saya memang tidak berpretensi menulis novel sejarah. Apalagi berpretensi tentang kemungkinan penggunaan novel ini sebagai sumber informasi sejarah guna mendukung usaha pemahaman sejarah Indonesia, khususnya sejarah Kabupaten Kendal. Akan tetapi, kalau dipadukan dengan sumber-sumber lain, barangkali novel ini dapat dipergunakan sebagai satu sumber pengetahuan dan pemahaman sejarah. Karena untuk mendapat informasi yang tepat tentang suatu peristiwa, kita sebaiknya menggunakan studi-studi sejarah, arsip-arsip, dan dokumen-dokumen. Novel ini mungkin lebih berguna bagi mereka yang tertarik untuk meneliti segi-segi psikologis dan keadaan kejiwaan masyarakat di Kabupaten Kendal pada masa kolonial Belanda.

Selama ini kita tahu, mengajak generasi muda membaca buku-buku sejarah sungguh sulit. Padahal sebenarnya belajar sejarah memiliki banyak manfaat. Ia bisa untuk mengetahui peristiwa di masa lampau, ada pula manfaat edukatif dan pembelajaran, sejarah juga dapat dijadikan sebagai bahan inspirasi, rekreasi, dan memperluas wawasan.

Dalam kaitan ini, mungkin novel sejarah bisa menjadi alternatif. Karena sejarah akan terasa berbeda bila dikemas dalam bentuk novel. Namun novel, meskipun novel sejarah, tetap merupakan fiksi. Ia bukan fakta. Bukan sejarah itu sendiri.
Saat ini saya sedang menulis novel, kelanjutan dari Bau ini. Saya sebenarnya tidak puas dengan Bau ini. Saya menerima dengan ikhlas ketika Dewan Juri Penghargaan Prasidatama 2020 yang ditunjuk Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah tidak memilih novel ini sebagai terbaik, namun hanya nomine. Menulis novel paling tidak membutuhkan waktu berjam-jam setiap duduk, begadang hampir setiap malam, namun belum tentu hasilnya menggembirakan. Akan tetapi, proses penciptaan novel itu mengasyikkan, menggelisahkan, dan membahagiakan. (SS)
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah

Berita Terkait

Top