Tantangan Kandidat Perempuan dalam Pilkada
Gunoto Saparie : Ketua Umum Satupena Jawa Tengah dan Dewan Kesenian Jawa Tengah
Semarangsekarang.com, – Bagaimanakah prospek keterpilihan perempuan sebagai gubernur, bupati, atau walikota, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 27 November 2024? Bagaimanakah tantangan terhadap kepemimpinan perempuan, khususnya di Jawa Tengah?
Harus diakui, tantangan terhadap kepemimpinan perempuan muncul sejak pencalonan sampai masa mereka menjabat. Akan tetapi, para perempuan kepala daerah sebagian besar ternyata mampu melampaui tantangan itu dengan menegosiasikan identitas gendernya. Bahkan dukungan partai politik terhadap perempuan ditunjukkan dengan meningkatnya tren angka pencalonan secara perlahan.
Ketika melihat banyak perempuan yang mendaftar sebagai calon kepala daerah ke partai politik tentu saja menggembirakan. Kita berharap, partai politik mendukung pencalonan mereka, sehingg angka keterpilihan perempuan sebagai kepala daerah meningkat. Apalagi kepercayaan pemilih terhadap calon perempuan kepala daerah juga mengalami peningkatan. Sebuah data menunjukkan bahwa persentase keterpilihan perempuan lebih tinggi dari persentase pencalonannya.
Di Jawa Tengah, ada sejumlah perempuan yang menjabat sebagai kepala daerah. Di Kabupaten Klaten ada Bupati Sri Mulyani berpasangan dengan Yoga Hardaya, di Kabupaten Sukoharjo Etik Suryani berpasangan dengan Agus Santosa, dan Kabupaten Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi berpasangan dengan Sudono. Selain itu, ada empat perempuan yang duduk sebagai kepala daerah yaitu di Kabupaten Grobogan Sri Sumarni didampingi Bambang Pujiyanto, di Kabupaten Demak Eistianah didampingi Ali Makhsun, di Kabupaten Pekalongan Laila Fadia didampingi Riswadi, dan di Kabupaten Sragen Kusdinar Untung Yuni didampingi Suroto.
Sementara perempuan yang duduk di posisi wakil kepala daerah ada empat orang yaitu di Kabupaten Kebumen yakni Ristawati Purwaningsih yang mendampingi Arif Sugiyanto dan Tri Yuli Setyowati mendampingi Arief Rohman di Kabupaten Blora. Sedangkan di Kabupaten Purworejo Yuli Hastuti yang mendampingi Agus Bastian, dan di Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu yang kembali mendampingi Hendrar Prihadi untuk periode kedua naik menjabat walikota karena Hendi—panggilan akrab Hendrar Prihadi—mengundurkan diri.
Meskipun demikian, sesungguhnya keterlibatan perempuan dalam politik praktis masih kecil. Hal ini sungguh ironis ketika kita menyadari bahwa jumlah perempuan separuh populasi penduduk bumi. Ketika begitu banyak hak dan kebutuhan menyangkut perempuan yang bersentuhan langsung dengan keputusan politik, maka mau tidak mau perempuan harus memiliki peran dalam politik praktis. Perempuan diharapkan hadir bukan hanya di parlemen, melainkan juga menjadi kepala daerah, seperti bupati, wali kota, atau gubernur.
Pada pilkada serentak yang akan berlangsung November tahun ini, mampukah para perempuan calon kepada daerah (cakada) berkompetisi memenangi pertarungan. Dalam kaitan ini, basis dukungan menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan sebelum mereka memutuskan maju. Hal ini karena basis dukungan akan menjadi mesin kemenangan yang efektif. Apakah perempuan kandidat kepala daerah itu kader partai politik, memiliki kedekatan dengan elite politik tertentu, memiliki jaringan kekerabatan yang besar, memiliki keterkaitan dengan orang yang berpengaruh di daerah atau pernah menjabat sebagai anggota DPR, atau sebagai petahana, hal itu harus diperhitungkan. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa basis kekuatan finansial juga harus menjadi bahan pertimbangan. Oleh karena itu, tingginya biaya politik dalam proses kampanye menjadi tantangan besar bagi perempuan.
Sampai hari ini, dominasi kaum laki-laki sebagai pemimpin memang masih begitu kuat. Padahal sesungguhnya perempuan mempunyai potensi yang tidak kalah dengan laki-laki dalam hal memimpin. Kemampuan individu dalam memimpin tidak ada kaitannya dengan aspek biologis yang melekat pada diri sang pemimpin tersebut, yaitu jenis kelamin, entah laki-laki atau perempuan. Kalau perempuan mendapat kesempatan dan peran yang seimbang dengan laki-laki, bukan tidak mungkin potensi sumber daya manusia di Indonesia menjadi jauh lebih besar.
Memang, untuk meningkatkan kapasitas keterwakilan perempuan di kursi parlemen, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah menentukan bahwa untuk meningkatkan persentase keterwakilan perempuan di parlemen ditetapkan sebesar 30%. Keterlibatan perempuan dalam berkiprah di dunia politik dari waktu ke waktu terus mengalami presentasi yang meningkat. Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di badan legislatif, terutama sejak pemilihan umum pada 1999 hingga tahun 2024.
Kesempatan perempuan untuk menjadi politisi memang relatif terbatasi. Hal ini karena ada persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan domestik atau rumah tangga. Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara lain disebabkan oleh kondisi budaya patriaki yang tidak diimbangi kemudahan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi perempuan.
Tantangan pertama yang dihadapi perempuan dalam politik adalah ketidaksetaraan akses terhadap peluang politik. Stereotip gender dan norma sosial seringkali mengalangi perempuan untuk memasuki dunia politik. Bias gender dapat ditemui dalam pemilihan, kampanye, dan proses pengambilan keputusan politik.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai kandidat kepala daerah. Konteks budaya yang ada di Indonesia masih sangat kental dengan kultur patriarkinya. Dunia politik dianggap hanya untuk laki-laki, dan tidaklah pantas bagi perempuan untuk terlibat menjadi politisi. Di samping itu, proses seleksi yang ada dalam partai politik terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Sementara itu sumber daya finansial yang dimiliki perempuan belum optimal.
Pentingnya perempuan berada dalam ruang politik praktis karena akan memberikan akses dalam memperjuangkan perempuan untuk menyelesaikan akar permasalahan yang membelit mereka. Oleh karena itu, peran perempuan dalam pilkada serentak 2024 sangat penting melalui pendidikan politk, kaderisasi, dan rekrutmen dari partai politik untuk mendorong kuantitas dan kualitas representasi perempuan.
Meskipun demikian, perempuan jangan sembarang memberikan dukungan kepada perempuan kandidat kepala daerah. Perempuan harus memberikan dukungan pada perempuan-perempuan yang potensial, memiliki karakter terbuka, dan memiliki gagasan perubahan yang berpihak pada kepentingan perempuan itu sendiri.