Satupena Diskusikan Novel Berbasis Riset di Ungaran


Bambang Iss Wirya (kiri) didampingi moderator Tirta Nursari menunjukkan pentingnya riset dalam penulisan novel dalam diskusi Satupena Kabupaten Semarang. (foto: istimewa)

Semarangsekarang.com (Kabupaten Semarang) – Riset memiliki arti sebagai penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik.

Dalam sebuah penulisan yang bersifat ilmiah, sebutlah skripsi atau tesis, riset jelas sangat diperlukan dan harus dilakukan. Tetapi bagaimana dengan penulisan nonakademis, seperti pada novel atau puisi yang bersifat fiksi, dan buku-buku non fiksi lain, apakah riset tetap dibutuhkan?

Pertanyaan itu seringkali muncul terutama di kalangan para penulis pemula. Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Kabupaten Semarang mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui sebuah diskusi sederhana yang dikemas dalam acara Kopdar dan Diskusi

“Seberapa Pentingkah Riset dalam Penulisan Fiksi/Nonfiksi?” dengan menghadirkan jurnalis sekaligus sastrawan Semarang Bambang Iss Wirya. Acara yang diselenggarakan pada Minggu, 7 Januari 2024 lalu di Warung Pasinaon ini merupakan kerjasama Satupena dengan Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) Kabupaten Semarang dan TBM Warung Pasinaon Bergas Lor, Ungaran.

Puluhan peserta yang merupakan para penulis dan pegiat literasi antusias mengikuti acara yang digelar sejak pukul 10.00 WIB. Mereka bahkan tetap bertahan hingga jelang pukul 15.00 meski ruangan sempat sedikit basah karena ada atap yang bocor.

Diskusi diawali dengan pembacaan cuplikan cerita dari novel “Rajah” karya Bambang Iss WIrya oleh Tirta Nursari yang sekaligus menjadi moderator acara. Dengan suara indahnya Tirta, penyair yang juga merupakan Ketua Satupena Kabupaten Semarang sukses menyihir peserta untuk menyimak novel yang hampir 70% muatannya merupakan hasil riset dari peristiwa petrus (penembak misterius) pada rezim Suharto.

“Rajah” memang menjadi pemantik diskusi di siang tersebut. Novel tersebut seolah mematahkan anggapan bahwa riset hanyalah domain bagi kalangan akademisi. Faktanya, riset pun diperlukan oleh semua penulis, baik fiksi maupun non fiksi. Meski, kata Bambang, riset pada penulisan karya-karya non akademis tidaklah senjlimet yang dilakukan oleh para akademisi.

“Riset seorang pengarang dilakukan dengan caranya sendiri, yaitu dengan mengamati, bertanya sebanyak mungkin, dan kemudian menuliskannya dengan indah dan santun. Tanpa perlu proposal,” ujar novelis yang dua karyanya ‘Nyi Cubluk” dan “Blaster“ meraih penghargaan Prasidatama katagori novel sastra tahun 2021 dan 2022 dari Balai Bahasa Jawa Tengah, sekaligus menjawab pertanyaan Warsit, yang menanyakan apakah riset bagi seorang penulis seperti halnya pengajuan permohonan riset seperti yang dilakukan untuk sebuah penulisan karya ilmiah seperti skripsi atau tesis.

Lebih lanjut djelaskan oleh penulis buku etnografi “Jangan Panggil Aku Samin”, riset bahkan masih tetap perlu dilakukan oleh penulis cerita fiksi untuk meminimalisasi terjadinya cacat logika, sekaligus membuat karya lebih berisi. Adapun riset pada karya fiksi lebih ditekankan pada personifikasi tokoh dan fakta kejadian.

Keakraban antar penulis

Sementara itu menanggapi pertanyaan Atik Sugiyarti tentang bagaimana caranya untuk ‘membelokkan ‘cerita dari fiksi ke nonfiksi, menurut Bambang, itu dibutuhkan jam terbang dan bridging agar kalimat tetap selaras.

Tirta Nursari selaku ketua Satupena dan juga founder dari Warung Pasinaon menyebut bahwa kegiatan ini diselenggarakan untuk saling menjalin keakraban antar penulis dan pegiat literasi sekaligus sharing kepenulisan dari praktisi senior di dunia kepenulisan untuk memotivasi para penulis untuk tetap semangat untuk berkarya.

“Kabupaten Semarang ini kan literasinya sedang menggeliat. Komunitas literasi mulai tumbuh. Kami yang berada di Satupena berupaya untuk terus berbagi pengalaman dan ilmu dari para senior agar dunia buku di bumi Serasi ini semakin bergairah. Bukan hanya dari sudut penerbitan buku saja, tetapi juga dari segi kualitas,” ujar Tirta.

Selain diskusi, acara kopi darat yang diselenggarakan bertepatan dengan momen tahun baru ini juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi dan geguritan oleh Arvello Sugiyarto, Warsit, Ardi Susanti, dan Yusri Yusuf. Memungkasi acara, Tirta kembali hadir dengan sebuah puisi yang ditulis berdasarkan riset di resosialisasi Argorejo yang berjudul “Sunan Kuning Suatu Ketika”.
Tiga buku karya Bambang Iss Wirya diberikan sebagai doorprize kepada Atik Sugiyarti, Budi Utomo, dan Noor Alviah. (subagyo-SS)

Berita Terkait

Top