Akuntansi Telah Ada di Zaman Majapahit


Suasana bedah buku Gayatri: Akuntan Majapahit karya Dr Novrida Qudsi Lutfillah secara daring. (foto: istimewa)

Semarangsekarang.com – Akuntansi ternyata telah ada pada masa Kerajaan Majapahit. Akuntannya adalah Gayatri, seorang perempuan cantik, cerdas, dan berwawasan luas. Ia adalah putri keempat Kertanegara, Raja Singosari dan istri Raden Wijaya, raja pertama Majapahit.

Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Gunoto Saparie dalam Bedah Buku Gayatri: Akuntan Majapahit karya dosen Politeknik Negeri Malang, Dr Novrida Qudsi Lutfillah, Minggu (30/10/2022) sore. Bedah buku terbitan Peneleh Malang secara daring yang dipandu Nensy itu juga menghadirkan pembedah Direktur PPAK Universitas Surabaya Dr Riesanti Edie Wijaya.

Menurut Gunoto Saparie, dalam buku ini Novrida tidak menyuguhi kita dengan angka-angka yang menjemukan sebagaimana biasanya tulisan tentang akuntansi, namun justru membikin kita terpaku dan an membuat kita betah untuk membaca buku ini sampai halaman terakhir. Hal ini karena sejak awal, Novrida memakai definisi akuntansi secara luas, bukan lagi sekadar otonomi teknis.

“Namun, akuntansi tidaklah sesederhana itu. Hal ini karena akuntansi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan yang meliputi aspek sosial politik. Akuntansi juga tidak lepas dari bagian integral seperti tata kelola, akuntabilitas, keberlanjutan, dan proses pengendalian atau pengawasan,” katanya.

Gunoto menunjukkan bagaimana Novrida menguraikan dengan cukup bagus tentang Majapahit dari perspektif sejarah akuntansi. Akuntansi di masa Kerajaan Majapahit memainkan peran tidak hanya menyediakan perhitungan teknis dalam hal harga, biaya, dan keuntungan, namun juga memainkan peran yang beragam dalam kehidupan sosial politik.

Memang, kata Ketua Umum Satupena Jawa Tengah ini, kalau melihat contoh-contoh yang dikemukakan Novrida, akuntansi di zaman Kerajaan Majapahit masih terkesan sederhana, bagaikan catatan keuangan arisan ibu-ibu PKK. Tentu, dengan model catatan keuangan sederhana semacam itu, kita tidak dapat melihat sejauh mana aktiva tetap dan aktiva lancar yang dimiliki Kerajaan Majapahit, termasuk bagaimana pasivanya.

Namun, dengan laporan keuangan yang sederhana itu, kita menjadi tahu bagaimana Gayatri ingin laporan keuangan itu sebagai media transparansi, media akuntabilitas publik, sarana informasi, dan sarana evaluasi kerja.

“Memang, kita tidak dapat melihat posisi keuangan Kerajaan Majapahit dari segi likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas. Tetapi, dalam buku ini Novrida telah menunjukkan bagaimana akuntansi telah dirintis sejak zaman Majapahit, sesuatu hal yang sebenarnya tidak terbayangkan,” ujarnya.

Realitas historis

Riesanti Edie Wijaya memuji metodologi Gayatri yang diperkenalkan Novrida, karena dalam proses penelitian penggunaan metodologi kuasa Foucault belum dirasa cukup merangkum realitas historis saat itu.

Oleh karena itu, ia perlu melengkapinya dengan metodologi Gayatri, yang sesuai dengan kondisi Kerajaan Majapahit. Dipilihnya metodologi Gayatri dan dilepaskannya metodologi Foucault dilatarbelakangi oleh lengkapnya nilai kuasa, yang tidak hanya mencakup mekanisme teknikal dan rasional, namun juga menyentuh ranah batin.

“Hal ini sangat menarik. Karena hal ini berarti Novrida sangat memperhitungkan kearifan lokal dalam penelitian akuntansi,” ujarnya.

Riesanti menunjukkan empat isu yang dicetuskan Novrida dalam buku ini. Isu pertama adalah akuntansi memiliki kekuatan membangun realitas. Isu tentang bentuk pengendalian materi dan bentuk mistik. Isu lain adalah simulasi laporan aktivitas. Sedangkan terakhir tentang kuasa akuntansi merupakan manifestasi dari kadigwijayaan.

“Selain itu saya berpendapat, akuntansi Gayatri adalah kuasa kesejahteraan,” tandasnya.

Sedangkan Novrida mengemukakan alasan mengapa tertarik melakukan penelitian sejarah akuntansi. Ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Pertama, mengaburkan sejarahnya. Lalu menghancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Selain itu, memutuskan hubungan mereka dengan leluhurnya.

“Mereka mengatakan leluhur kita bodoh dan primitif. Padahal di zaman Majapahit kita memiliki nenek moyang perempuan hebat bernama Gayatri,” katanya seraya menambahkan bagaimana ia bersama Peneleh Research menginisiasi paradigma Nusantara sebagai wujud implikasi nilai kearifan lokal. (subagyo-SS)

Berita Terkait

Top