Satupena Jateng Ramaikan Bulan Puisi Esai


Semarangsekarang.com – Perkumpulan Penulis Indonesia “Satupena” Provinsi Jawa Tengah ikut meramaikan Bulan Puisi Esai yang diselenggarakan pada Desember 2022. Karya puisi esai 10 penulis anggota Satupena Jawa Tengah ditambah satu puisi esai karya Ketua Umum Satupena Jateng termuat dalam buku antologi yang akan diterbitkan Satupena Pusat dalam waktu dekat ini.

Ketua Umum Satupena Provinsi Jawa Tengah Gunoto Saparie mengatakan, mereka yang terpilih dalam buku antologi puisi esai khusus dari Jawa Tengah itu adalah Adnan Ghiffari, Bambang Iss Wirya, Faihaa Nabiila, Mohammad Agung Ridlo, Nur Budiyana, Saefudin, Sahesti Yuli Ambarwati, Tirta Nursari, Widiyartono R, dan Yusuf Afandi.

Mereka menulis puisi esai yang bertolak dari fakta sosial dan pernah diberitakan di media massa. Peristiwa yang menyentuh batin dan rasa kemanusiaan.

“Puisi esai yang mereka tulis beragam bentuknya. Namun, tetap mengacu pada kriteria puisi esai yang diberikan pelopornya, Denny JA,” ujarnya.

Puisi esai mereka, lanjut dia, ditulis bagaikan kisah atau cerita pendek. Ada tokoh, dialog, plot, dan konflik. Ada catatan kaki yang menunjukkan adanya fakta dan telah diberitakan di media massa kredibel.

Menurut Gunoto Saparie, yang sangat menggembirakan, dari 10 penulis terpilih itu, tidak semuanya senior. Bahkan ada generasi milenialnya, muda, dan cukup berbakat. Ada yang dosen, mahasiswa, wartawan, karyawan swasta, dan guru. Mereka menunjukkan potensinya sebagai penulis puisi esai.

Tema yang diangkat dalam puisi esai Widiyartono, misalnya, tentang fenomena ujaran kebencian di media sosial, tema yang meresahkan karena menimbulkan perpecahan di masyarakat.

Puisi esai Bambang Iss Wirya berkisah tentang penembakan misterius, di mana para korbannya mereka yang terindikasi sebagai penjahat,” kata Gunoto seraya menambahkan, yang menyentuh rasa kemanusiaan kita dalam puisi esai ini dikisahkan tentang seorang anak yang selalu bertanya mengapa ayahnya harus menjadi korban penembakan misterius.

Gunoto menuturkan, kalau puisi Tirta Nusari berkisah tentang berita perkosaan dan pelecehan seksual di lembaga pendidikan agama. Sedangkan puisi esai Sahesti Yuli Ambarwati berkisah tentang terbunuhnya saksi kunci kasus korupsi di Kota Semarang.

“Puisi esai Nur Budiyana berkisah tentang penolakan pembangunan gereja meskipun telah memiliki IMB. Sementara puisi esai Yusuf Afandi mengisahkan perjuangan seorang guru honorer mengajar di daerah pinggiran,” tuturnya.

Problem sosial

Gunoto menunjukkan pula bagaimana puisi esai Mohammad Agung Ridlo mengisahkan problem sosial akibat bencana alam. Puisi esai Adnan Ghiffari menyoroti fenomena Covid-19 yang mengganggu rasa kemanusiaan. Sementara puisi esai Faihaa Nabiilah berkisah tentang tokoh yang risau dan benci terhadap perbedaan dan diskriminasi di dalam masyarakat.

Yang menarik, demikian Gunoto, puisi esai Saefudin menyoroti kisah diskriminasi dan perundungan tak habis-habis terhadap seorang siswi sekolah menengah karena “anak PKI”. Sedangkan puisi esai Gunoto yang menjadi penutup antologi itu dan berbicara tentang seorang penganut aliran kepercayaan kehilangan akses pendidikan serta ekonomi karena terkucilkan di tengah masyarakat.

Menurut Ketua Umum Satupena Pusat Denny JA, ada 13 provinsi yang terlibat dalam penulisan puisi esai. Kalau masing-masing provinsi ada 10 penulis, maka 130 orang plus para Ketua Satupena di 13 provinsi melahirkan 130 puisi esai.

“Ini jelas peristiwa yang menggembirakan dan layak dicatat,” katanya. (subagyo-SS)

Berita Terkait

Top