Pipiet Senja Kisahkan Proses Kreatifnya di Satupena Kabupaten Semarang


Pipiet Senja (kanan) berkisah tentang proses kreatifnya sebagai sastrawan di Kopi d’Kebon Ungaran dipandu Ketua Satupena Kabupaten Semarang Tirta Nursari. (foto: istimewa)

Semarangsekarang.comJika aku pergi jua, Cintaku/mungkin esok, mungkin lusa/mungkin tak berapa lama lagi/lapangkanlah hatimu, Anakku/untuk senantiasa menerima skenario-Nya ini/Kenanglah kisah yang indah-indah saja/lupakan semua yang melukai/menikam dan menghujam dada/maka, kuanggap penting juga/tidak perlu ada perkabungan lama-lama/cukup tunaikan segala rukun/permandikan mayatku/kafani jenazahku/sebagaimana agama kita mengajarimu. (“Jika Aku Pergi Jua”.)

Puisi ini serupa tulisan wasiat yang dijadikan sebagai pembuka buku memoar “Dalam Semesta Cinta”. Puisi panjang ini ditulis tahun 2013, atau sudah sepuluh tahun lalu. Penulisnya menyebut, puisi itu memang wasiat, andai tiba-tiba saja dia mati. Karena tim dokter telah lama memvonisnya, bahwa umurnya hanya akan sampai di bilangan 17 tahun. Dan itu sudah berlalu lama, bahkan kini sudah sampai di angka 67, tepat pada 16 Mei 2023 lalu.

Penulis puisi dan buku memoar itu adalah Etty Hadiwati Arief. Orang mengenalnya dengan nama pena Pipiet Senja. Saat ini dia sudah menerbitkan 204 buku, meski di saat usianya baru 10 tahun dia sudah menjadi ‘drakuli’, satu guyonan yang disematkan padanya karena treatment rutin yang harus selalu dijalankannya setiap bulan; tranfusi darah!

Ya, Pipiet Senja adalah penyandang thalassemia, satu jenis penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh kurangnya hemoglobin yang ada pada sel darah merah yang mengharuskan pasien untuk tranfusi darah secara rutin setiap bulan.

Dan penyandang thalassemia tertua yang masih hidup di Indonesia itu menyambangi Ungaran, Kabupaten Semarang, Jumat, 30 Juni 2023, masih dalam suasana Iduladha, di acara Ngobrol Asyik bersama Pipiet Senja. Dia berbagi cerita di acara yang digelar atas kerja sama Satupena Kabupaten Semarang Jawa Tengah bersama dengan Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Semarang di Kopi d’Kebon, Ungaran.

Sebanyak 30-an peserta hadir di acara yang dipandu oleh Tirta Nursari yang juga Ketua Satupena dan Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Semarang ini. Peserta yang didominasi para ibu ini hikmat menyimak perempuan yang memanggil dirinya dengan Manini ini bercerita tentang proses kreatifnya, yang tak lepas dari perjuangannya sebagai penyintas thalassemia dan juga di tengah prahara rumah tangga yang sempat membelenggunya selama 32 tahun. Ini tak mudah.

“Saya sudah diberi buku harian oleh ayah sejak kecil. Dan ini yang kemudian memotivasi saya untuk mulai menulis.” Manini mengawali cerita.

Dan Manini berbagi cerita, bagaimana tulisan pertama yang lahir dari catatan harian itu dikirimnya ke Majalah Aktuil dan mendapatkan honor Rp 1500. Saat itu tahun 1975 dan harga emas masih berada di angka Rp 800. Itu artinya, satu tulisan hampir setara dengan harga 2 gram emas. Bandingkan dengan honor tulisan saat ini.

Saat itu, meski belum dikenal istilah literasi, namun jagad literasi sesungguhnya justru sangat dihargai. Puisi, cerpen, tulisan-tulisan yang dimuat di media cetak mendapat apresiasi yang sangat baik. Bahkan Manini menyebut, bisa mendapatkan untuk membeli tanah dan rumah dari hasil menulis. Sempat kaya, katanya. Namun kemudian biaya pengobatanj yang tak semua terkover BPJS, hingga mengalami penipuan membuatnya cukup terpuruk.

Pipiet Senja alias Manini hanya lulusan SMP saja. Dia mengakui tak memiliki teori dalam menulis, tetapi yang ada adalah melakukan sesuatu yang memang harus dilakukannya. Dan menulis adalah bagian dari “healing” bagi semua hal yang dialaminya.

Adzimatur Siregar, sang putri yang akrab dengan panggilan Zhizhiee, yang membersamai ibunya saat singgah di Ungaran, menyebut sosok ibunya adalah sosok “uhuy”, perkasa banget urusan mencari nafkah buat anak, unik, lucu, gokil, funky, namun syar’i.

Nyokap gua nggak ada duanya,” kata Ziziee.

Ketua Bidang Fiksi Satupena Jawa Tengah Bambang Iss Wirya mengaku mengikuti Pipiet Senja sejak hampir setengah abad lalu dan menyebut Pipiet Senja serupa burung pipit yang masih terus perkasa. (subagyo-SS)

Berita Terkait

Top