Kegelisahan Sulis Bambang Sumber Kreativitasnya


Sulis Bambang (berdiri belakang ke 4 dari kiri) bergambar bersama dengan sebagian hadirin seusai peluncuran buku kumpulan cerpennya “Surga di Mana”. (foto: istimewa)

Semarangsekarang.com – Sulis Bambang adalah pengarang Semarang yang selalu gelisah. Hal itu terlihat dari tampilan fisiknya yang berubah-ubah. Dari tidak memakai kerudung, lalu mengenakan dengan sedikit kelihatan jambulnya, dan kini kembali sama sekali tidak berkerudung.

Hal itu dikemukakan Ketua Umum Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie ketika menanggapi terbitnya buku kumpulan cerita pendek berjudul “Surga di Mana” karya Sulis Bambang di Warung Kopi Alam, Jalan Singosari, Semarang, Sabtu (28/01/2023).

Buku setebal 106 halaman dan diterbitkan Gigih Pustaka Mandiri Semarang ini memuat 5 cerpen Sulis yang semuanya berkisah tentang surga. Lima cerpen itu berjudul Surga yang Menggelap, Surga Orang Sebelah, Surga yang Menyesatkan, Surga Ikhlas, dan Surga di Mana (yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini).

Gunoto Saparie menuturkan, kegelisahan itu merupakan sumber kreativitas dan ilham bagi penciptaan karya-karya sastra Sulis. Termasuk karya-karya cerpen dalam buku ini.

“Cerpen-cerpen dalam buku ini terkesan antilogika, meskipun penggarapannya berangkat dari realisme formal. Namun, Sulis cukup bagus menciptakan kenyataan literer dalam karya-karyanya itu,” katanya.

Meskipun demikian, lanjut Gunoto, ia merasa terganggu ketika menemukan ada sejumlah kata yang ditulis tidak secara baku. Seharusnya Sulis mengacu pada Pedoman Umum Pembentukan Istilah untuk sejumlah kata asing yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Sedangkan Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah Mohammad Agung Ridlo mengkritisi judul buku sebagaimana tertulis di cover, yaitu “Surga di Mana”. Barangkali Sulis sedang mencari di mana surga itu berada. Namun, di cover ternyata tidak ada tanda tanya.

Agung menuturkan, jika tidak ada tanda tanya pada judul bukunya, barangkali Sulis Bambang ingin memberi informasi (gambaran) lokasi surga itu seperti yang dikisahkan pada lima cerpen dalam bukunya.

Menurut Agung, pada cerpen yang pertama “Surga yang Menggelap” dikisahkan ada hubungan sedarah atau inses (incest). Hubungan seksual yang dilakukan antara ayah dengan anak perempuan bungsunya.

“Sewaktu di sorga anak bungsunya teringat akan perilaku bapaknya. Artinya, ingatan anak bungsunya tentang inses ini tampaknya dibawa sampai surga. Hanya saja endingnya belum tuntas, sang ayah tidak ditemukan di surga, yang berarti berada di neraka,” ujarnya.

Secara terpisah, Agung mengusulkan, agar setelah buku ini akan lahir dari tangan Sulis buku kumpulan cerpen bertema kehidupan di neraka. Tentu saja penggambarannya lebih sadis, mencekam, mengerikan, dan hal-hal lainnya.

Kekerasan cerita

Sementara itu aktivis perempuan Niniek Jumoenita merasakan bagaimana kekerasan cerita perempuan dan anak dalam buku karya Sulis bukan lagi sekadar fiksi. Cerita semacam itu sangat dekat dan nyata karena tiap hari ia tangani.

“Karena itu saya justru melihat Sulis ikut kampanye tentang buruknya akibat kekerasan perempuan dan anak. Hal itu dilakukan Sulis dalam cerpen – cerpennya,” tandasnya.

Sulis Bambang menyatakan kalau ia tidak terpengaruh dengan berbagai tanggapan atas buku kumpulan cerpennya itu. Para hadirin mau memuji atau mengkritik, silakan.

“Terserah bagaimana pendapat pembaca. Saya tetap jalan terus. Saya tetap menulis dan menulis,” katanya.

Hadir dalam kegiatan itu puluhan sastrawan Semarang. Mereka antara lain Yanti S. Sastroprayitno, Wiwien Wintarto, Heru Mugiarso, Imanuel Tri, Any Faiqoh, Ibu Uun, Basa Al-Kalam, Lukni Maulana, Adhitia Armitrianto, Didiek WS, Es Cao Dewi, Asrida Ulinuha, Cinta Logika, Slamet Priyatin, dan lain-lain. (subagyo-SS)

Berita Terkait

Top