Para Seniman Sangat Kehilangan Salim Said


Salim said, foto :ist
Semarangsekarang.com (Semarang),- Kabar duka menyelimuti Kalangan seniman dan budayawan Indonesia. Mereka meras kehilangan atas meninggalnya mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Salim Said (80 tahun). Salim dikenal sebagai tokoh Pers dan Perfilman, juga pemikir serta pejuang kesenian yang patut diteladani.

Kabar duka, itu disampaikan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah Gunoto Saparie sehubungan dengan berpulangnya Salim Said mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Sabtu (18/5/2024) pukul 19.33 WIB.

Kabar meninggalnya Salim Said tersebut dikonfirmasi oleh istrinya, Herawaty, dalam pesan singkat yang diterima sejumlah wartawan. Jenazah Salim disemayamkan di rumah duka di Jalan Redaksi Nomor 149, Kompleks Wartawan PWI, Cipinang, Jakarta Timur dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada Minggu (19/5/ 2024) siang.

Menurut Gunoto, ketika menjabat Ketua DKJ selama dua periode (1990-1998) Salim Said dikenal gigih dalam memperjuangkan dana untuk dewan kesenian di Indonesia. Hal itu ia lakukan, karena posisinya , sebagai Ketua DKJ, sekaligus Ketua Badan Kontak Dewan Kesenian se-Indonesia. Saat itu, pada tahun 1990-an, lahir instruksi Presiden Soeharto tentang pembinaan kesenian di daerah yang kemudian dikenal sebagai Inpres Kesenian, di mana hal itu merupakan gagasan dan usulannya.

“Saya lupa nomor inpresnya. Namun yang saya ingat waktu itu Dewan Kesenian Jawa Tengah mendapatkan Rp500 juta, begitu juga Dewan Kesenian Jawa Barat dan Dewan Kesenian Jawa Timur. Sedangkan Dewan Kesenian Jakarta memperoleh Rp1 miliar. Dana itu berasal dari pusat yang kemudian di-APBD-kan di masing-masing provinsi. Sayang ketika Pak Harto lengser, dana inpres itu berakhir,” ujar Ketua Umum Satupena Jawa Tengah ini.

Gunoto menuturkan, Salim Said pernah menyampaikan cerita tentang latar belakang turunnya Inpres Kesenian itu dalam suatu Musyawarah Nasional Dewan Kesenian. Ketika itu Salim mengeluhkan minimnya dana untuk bidang kesenian, baik secara nasional maupun lokal atau daerah. Kepada Kepala Bappenas ketika itu, Ginandjar Kartasasmita. Ternyata keluhan Salim Said itu ditanggapi secara serius oleh Ginandjar, di mana kemudian menyampaikan kepada Soeharto. Lahirlah kemudian Inpres Kesenian tersebut. 

“Salim saat itu mengingatkan agar pemanfaatan dana Inpres Kesenian itu benar-benar tepat sasaran. Karena ada dewan kesenian provinsi tertentu yang menafsirkan kalimat ‘pembinaan kesenian di daerah’ sebagai ‘pembinaan kesenian daerah’. Padahal dana itu harus dimanfaatkan untuk pembinaan dan pengembangan kesenian modern, meskipun mengambil sumber inspirasi dan pengucapan artistiknya dari daerah atau lokal,” tandasnya.

Salim Said lahir di Amparita Parepare, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, 10 November 1943 . Salim menempuh pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia (1964-1965). Ia kuliah S1 di Fakultas Psikologi UI (1966-1967). Namun, Salim tak menyelesaikan studinya itu. Ia memilih melanjutkan studi S1 di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta (1976).
Salim melanjutkan S2 di jurusan Hubungan Internasional Ohio University, Amerika Serikat (1980). Setelah itu, kuliah lagi S2 di jurusan Ilmu Politik Ohio State University, Amerika Serikat (1983). Lalu, Salim melanjutkan S3 di jurusan Ilmu Politik Ohio State University, Amerika Serikat (1985).

Salim memulai kariernya di bidang jurnalistik sebagai redaktur di beberapa media, seperti Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, dan wartawan majalah Tempo (1971-1987). Selain itu, Salim juga aktif mengajar di Sekolah Ilmu Sosial Jakarta. Salim juga pernah menjadi anggota Dewan Film Nasional dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Ia kerap berdiskusi mengenai film, sejarah, sosial, dan politik.

Karya tulis Salim banyak dimuat berbagai media massa. Karyanya yang terkenal adalah buku berjudul Profil Dunia Perfilman Indonesia (1982). Selain itu ia menulis buku Dari Festival ke Festival: Film-film Manca Negara dalam Pembicaraan, Militer Indonesia dalam Politik, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000, dan Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. (Subagyo/ss)

Berita Terkait

Top