Perempuan Berjubah Putih Hadirkan Eksotisme di Parade Puisi Moderasi Beragama
Atthasilani Gunanandani ketika memberi sambutan pada Parade Baca Puisi Moderasi Beragama di Vihara Tanah Putih Semarang. (foto: istimewa)
Semarangsekarang.com – Ada pemandangan yang menarik dari Parade Baca Puisi Moderasi Beragama yang diselenggarakan Perkumpulan Penulis Indonesia “Satupena” Jawa Tengah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah di Vihara Tanah Putih, Semarang, Minggu, 4 Juni 2023 lalu.
Hadirnya 17 perempuan berjubah putih membuat suasana menjadi eksotik dan mengesankan.
Memang, seperti dikatkan Kepala Vihara Tanah Putih Bhante Cattamano Mahathera, menyambut Hari Raya Tri Suci Waisak, Vihara Tanah Putih menasbihkan sebanyak 17 peserta pelatihan Atthasilani.
Program pelatihan Atthasilani ini menjadi yang pertama diadakan di Kota Semarang. Sejumlah peserta berasal dari luar kota, bahkan ada yang dari Papua dan Kalimantan Selatan. Atthasilani ialah perempuan yang menjalani kehidupan suci dengan menerapkan delapan sila, mengenakan jubah putih, dan mematuhi 75 aturan Atthasilani. Peserta Atthasilani bisa melepas jubah putih setelah 11 hari.
Menurut Bhante Cattamano Mahathera, ada persyaratan untuk menjadi sebagai Atthasilani. Pertama harus ada izin, kalau dia punya keluarga harus diizinkan oleh keluarga. Kalau yang sudah bersuami harus diizinkan oleh suami.
Salah seorang Atthasilani, Gunanandini, menyambut dengan ramah dan hangat kehadiran para penyair anggota Satupena Jawa Tengah dan para tokoh lintas agama dan iman yang mengucapkan selamat Hari Trisuci Waisak. Bahkan mereka berpartisipasi aktif dalam Parade Baca Puisi Moderasi Beragama.
Gunanandini menuturkan proses penasbihan Atthasilani. Ada berbagai persyaratan lainnya yang mesti terpenuhi oleh peserta Atthasilani. Untuk jadi Atthasilani selain harus mendapat izin dari keluarga juga harus bersedia ikut aturan latihan Atthasilani. Tidak punya penyakit menular, minimal berusia 7 tahun dan maksimal usianya itu 60 tahun.
“Mereka dapat memilih untuk melanjutkan pelatihan sebagai seorang Atthasila atau kembali menjalani kehidupan sebagai umat biasa. Dalam agama Buddha ada dua pola kehidupan. Pertama, pola kehidupan rumah tangga. Kedua, meninggalkan pola kehidupan rumah tangga. Itu semua pilihan, tergantung pada sejauh mana kapasitas kemampuannya, seberapa lama bisa menjalaninya,” ujarnya.
Melalui pelatihan Atthasilani, kata Gunanandini, semua peserta menjalani kehidupan bak seorang Bhiku di Vihara Tanah Putih dan mengikuti Pindapata dengan menerima makanan dari umat. Selama pelatihan Atthasilani, peserta tak boleh makan lewat dari tengah hari. Kemudian tak diperkenankan mengenakan riasan wajah, wewangian, dan segala sesuatu yang bertujuan untuk mempercantik diri.
Gunanandini menambahkan, sebelum bulan purnama, sehari sebelum penasbihan Atthasilani seluruh peserta memotong rambut. Hal itu dimaksudkan untuk melepas sesuatu yang dianggap mahkota seorang perempuan.
Gerakan kultural
Ketua FKUB Jawa Tengah Taslim Syahlan mengatakan, momentum Hari Raya Waisak ini kita jadikan tonggak kerukunan dan moderasi beragama. Melalui puisi-puisi para penyair, kita berharap, agar semua umat beragama rukun dan toleran. Tidak ada permusuhan, yang ada hanya perdamaian.
Ketua Umum Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie menambahkan, penguatan moderasi beragama tidak cukup diusahakan secara struktural melalui kebijakan negara. Ia harus menjadi gerakan kultural masyarakat. Para penyair terpanggil komitmen sosialnya dengan menciptakan dan membacakan puisi-puisi bertema moderasi beragama. (subagyo-SS)