Tradisi Perayaan Imlek Ajaran Leluhur


Yoga Pangemanan, Ketua Harian Perserikatan Organisasi Indonesia Tionghoa (Porinti) Semarang. (foto: dok istimewa)

Semarangsekarang.com – Datangnya perayaan tahun baru Imlek seperti sekarang ini, selalu membawa kebahagiaan bagi warga Tionghoa.
Bagi keluarga Tionghoa, datangnya Sin Cia adalah momen berkumpul keluarga. Sanak saudara datang, yang tua memberi angpao kepada anak-anak atau yang lebih muda.

Bagi anak-anak, ini adalah kebahagian. Sedangkan bagi orangtua, tahun baru Imlek seringkali mengundang memori indah pada masa kecil, tentang bagaimana orangtua mengajarkan tradisi perayaan leluhur ini, untuk diteruskan oleh anak cucunya.

Demikian juga bagi Yoga Pangemanan, salah seorang tokoh warga Tionghoa Semarang. Datangnya Sin Cia, bagi dia, adalah momen penting menghormat orangtua, dan bagaimana mengajarkan nilai luhur kepada anak cucu.

Menurut pria kelahiran Semarang ini, Sin Cia mengandung nilai luhur mengingatkan kepada orangtua, kakek dan nenek. Terlebih orangtuanya mengajarkan untuk memegang kuat dan melestarikan tradisi leluhur ini.

Dimana setelah disibukkan oleh berbagai urusan sepanjang tahun, pada perayaan tahun baru Imlek harus menyempatkan diri mengunjungi orangtua, berkumpul dan makan bersama, sebagai salah satu kegiatan melestarikan tradisi.

“Sampai sekarang saya dan anak-anak masih merayakan sesuai tradisi leluhur kalau Imlek, mereka akan kumpul menengok kita. Hanya saja karena mereka anak perempuan, tradisinya kalau malem sincia mereka kumpul di keluarga suaminya.
Anak saya kumpul di rumah mertuanya dulu di Jakarta. Besoknya baru terbang ke Semarang, ke tempat saya. Anak saya yang di Semarang pun juga, malem sincia dia ke mertuanya dulu, baru besoknya ke tempat saya. Karena perayaan sincia di keluarga Tionghoa kan kumpul di rumah keluarga suami, anak anak laki-laki dulu,” tutur ayah dari tiga putri, dua di Jakarta dan satu di Semarang, yang semuanya sudah menikah.

Yoga pin berkisah tentang perbedaan suasana perayaan tahun baru Imlek di Semarang, antara zaman ketika dia masih anak-anak di tahun 1960-an, sampai sekarang. Menurut pria yang masa kecilnya tinggal bersama kakek dan nenek di kawasan Jl Mataram (MT Haryono) kawasan dekat Dargo, perayaan tahun baru Imlek kala itu sangatlah ramai. Dirayakan secara terbuka, banyak atraksi permainan samsi (barongsai), liong (naga), dan lainnya.

Sanak keluarga saling mengunjungi

”Dulu sewaktu anak-anak saya senang dapat angpao. Saya tinggalnya bersama kakek nenek. Nha saudara-saudaranya orangtua saya, yaitu om dan tante, datang menengok kakek nenek saya. Kalau mereka paicia ke kakek nenek, otomatis ada saya disitu, dan saya otomatis juga dikasih angpao sama om om dan tante,” kenang pria berusia menginjak 70 tahun ini..

Jaman dulu menurut dia, suasana sincia ramai sekali. “Anak-anak ramai sekali, terutama sebelum Gestok (peristiwa pecahnya G30S/PKI). Tahun 1966 sampai reformasi, merayakan tshun baru imlek secara tertutup, hanya boleh dirayakan intern keluarga. Tidak boleh ada ingar bingar berbau Imlek di masyarakat umum.

Sejak era reformasi 24 tahun silam, Suasana Imlek kembali ramai. Namun menurut Yoga, masih lebih ramai suasana tahun 1960an ketika dia masih anak-anak. Apalagi dua tahun berakhir dunia dilanda wabah covid-19, sehingga untuk sementara segala bentuk keramaian sincia ditiadakan dahulu.

Pegang Erat Tradisi

Saling silaturahmi saat sincia berikut segala tradisi perayaan tahun baru Imlek yang ditanamkan oleh orangtua, terbawa hingga masa sekarang.

Yoga yang kini aktif di berbagai perkumpulan sosial di sela-sela kegiatan bisnisnya, terus melaksanakan tradisi Imlek untuk ditanamkan kepada generasi muda.
Salah satunya, menghias kota khususnya kawasan Pecinan dengan lampion oleh Porinti (Perserikatan Organisadi Indonesia Tionghoa) Semarang, sebuah wadah bagi organisasi Tionghoa, dimana Yoga Pangemanan dipercaya sebagai Ketua Harian.

Yoga pun berharap kemeriahan tahun baru Imlek juga bisa membawa kebahagiaan dan kedamaian serta kerukunan bagi seluruh masyarakat, khususnya warga Kota Semarang.

“Tradisi silaturahmi, saling berkunjung sejak jaman kuna tidak hanya terjalin antara keluarga dan kerabat Tionghoa saja, tetapi juga dengan para tetangga yang bukan Tionghoa. Karena banyak yang pada hari sincia membagikan kue keranjang, dan juga mengirimkan masakan lontong opor cap go meh pada akhir atau puncak perayaan imlek di hari ke-15. Itu semua merupakan simbol keakraban dan asimilasi budaya luhur yangl, yang telah terjalin di masyarakat kita,” kata Yoga Pangemanan, yang di perkumpulan sosial juga ditunjuk sebagai Ketua Harian Alumni THHKS (Tionghoa Hwee Kwan Semarang), dan anggota Dewan Pembina Rumah Sakit Telogorejo Semarang. (sucipto-SS)

Berita Terkait

Top