Jejak Tradisi Menyambut Pergantian Tahun
Oleh: Nia Samsihono*)
Semarangsekarang.com – Perayaan tahun baru merupakan salah satu momen paling meriah yang dirayakan oleh berbagai budaya di seluruh dunia. Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, diwarnai dengan pesta, kembang api, dan berbagai ritual unik. Tapi sejak kapan sebenarnya manusia mulai merayakan hari pergantian tahun?
Tradisi perayaan tahun baru telah ada sejak zaman kuno. Bangsa Mesopotamia, yaitu bangsa dengan peradaban tertua di dunia, merayakan Akitu, sebuah festival yang menandai musim semi dan panen baru.
Perayaan ini diadakan sekitar Maret atau April dan mencakup serangkaian upacara keagamaan dan kebudayaan. Mesir kuno memiliki dua festival utama yang menandai tahun baru. Perayaan pertama terjadi selama peristiwa banjir Sungai Nil, yang menjadi tanda dimulainya tahun baru agraris. Sementara perayaan kedua terjadi pada bulan musim panas ketika bintang Sirius muncul lagi, menandai awal tahun baru kalender Mesir. Bangsa Romawi juga memiliki perayaan tahun baru. Januari, yang dinamai dari dewa Romawi Janus yang memiliki dua wajah, dianggap sebagai bulan pertama dalam kalender Romawi. Janus adalah simbol transisi, melambangkan pengakhiran masa lalu dan awal yang baru. Dalam tradisi Islam, tahun baru dimulai dengan Hijrah, yaitu perpindahan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriah, yang digunakan oleh umat Islam, dimulai pada tahun 622 Masehi. Di Tiongkok, perayaan tahun baru Imlek dimulai berdasarkan kalender lunar. Puncak perayaan ini adalah Festival Musim Semi, yang dirayakan selama 15 hari dan ditandai dengan pesta, lampion, dan kembang api.
Dengan berkembangnya interaksi antarbangsa, orang di seluruh dunia kini merayakan pergantian tahun dengan cara yang unik dan beragam. Perayaan tahun baru tidak hanya menjadi momen untuk bersenang-senang, tetapi juga sebagai waktu refleksi, dan pembaharuan. Sejarah panjang perayaan ini mencerminkan keinginan manusia untuk menghormati perubahan alam, mengenang masa lalu, dan menyambut masa depan dengan semangat baru. Tradisi perayaan tahun baru telah meresap ke berbagai lapisan masyarakat di Indonesia, di kota-kota besar termasuk di desa-desa.
Meskipun mungkin tidak sebesar perayaan di kota-kota besar, masyarakat desa juga memiliki cara unik dan khas dalam menyambut pergantian tahun. Salah satu tradisi yang umumnya ditemui di masyarakat desa Indonesia adalah penyelenggaraan acara gotong-royong atau kegiatan bersama untuk menyambut tahun baru. Masyarakat desa biasanya bekerja sama membersihkan lingkungan, merapikan fasilitas umum, dan mempersiapkan tempat-tempat yang akan digunakan untuk perayaan.
Selain gotong-royong, kegiatan keagamaan juga menjadi bagian integral dari perayaan tahun baru di masyarakat desa. Banyak desa yang mengadakan upacara doa bersama, pengajian, atau kegiatan keagamaan lainnya untuk menyambut tahun baru dengan penuh keberkahan. Acara seni dan budaya turut memeriahkan perayaan tahun baru di desa. Hal ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga sebagai sarana pelestarian budaya dan tradisi lokal yang turun-temurun.
Pentingkah merayakan hari pergantian tahun? Beberapa orang mungkin menganggapnya hanya sebagai tradisi atau kesempatan untuk bersenang-senang, namun ada juga yang berpendapat bahwa momen ini memiliki makna yang lebih dalam dalam kehidupan kita. Pergantian tahun seringkali menjadi waktu yang tepat untuk merenung tentang perjalanan hidup sepanjang tahun yang berlalu. Refleksi ini dapat membantu dalam perencanaan masa depan dan meningkatkan diri.
Momentum positif dari awal tahun baru dapat memberikan dorongan semangat yang diperlukan untuk mencapai hal-hal baru. Merayakan pergantian tahun seringkali melibatkan pertemuan dengan keluarga dan teman-teman. Ini memberikan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang yang dicintai, memperkuat hubungan, dan menciptakan kenangan indah. Situasi seperti itu dapat memberikan dukungan emosional dan kesejahteraan psikologis.
Setiap etnis dan daerah di Indonesia memiliki cara tersendiri dalam merayakan tahun baru, menciptakan suatu pemandangan yang menakjubkan dengan warna-warni perbedaan budaya. Misalnya, masyarakat Jawa umumnya melaksanakan upacara labuhan, sementara suku-suku di Sumatra seringkali menggelar pesta adat dengan pakaian tradisional yang megah. Di beberapa daerah, masyarakat berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan kembang api. Makanan dan minuman khas juga menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan tahun baru. Di antara hidangan tersebut, biasanya terdapat makanan tradisional yang dianggap membawa keberuntungan. Beberapa kelompok masyarakat Tionghoa di Indonesia merayakan tahun baru dengan pertunjukan Barongsai, yaitu tarian singa Tionghoa yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dan membawa keberuntungan. Selain itu, masyarakat Bali juga menggelar pertunjukan Barong Landung sebagai bagian dari perayaan tahun baru.
Sedangkan bagi masyarakat Indonesia yang memegang teguh nilai-nilai keagamaan, perayaan tahun baru sering dimulai dengan doa bersama di tempat ibadah masing-masing. Hal ini mencerminkan sikap syukur dan harapan baru untuk tahun yang akan datang.
Mengapa sebagian rakyat Indonesia memilih tidak merayakan tahun baru? Beberapa kelompok masyarakat mungkin memandang tahun baru sebagai budaya yang tidak sesuai dengan nilai atau keyakinan keagamaan mereka. Selain itu, bagi sebagian masyarakat Indonesia, keterbatasan ekonomi dapat menjadi hambatan utama dalam merayakan tahun baru dengan meriah. Mereka mungkin lebih memilih untuk mementingkan kebutuhan sehari-hari dan memprioritaskan pengeluaran untuk hal-hal yang lebih mendesak daripada merayakan perayaan akhir tahun. Seiring dengan peningkatan kesadaran akan isu lingkungan, sebagian masyarakat mungkin memilih untuk tidak merayakan tahun baru dengan cara yang merugikan lingkungan. Mereka dapat menghindari penggunaan kembang api dan perayaan dengan kandil yang menghasilkan polusi udara. Beberapa orang mungkin memilih untuk tinggal di rumah atau menghabiskan waktu bersama keluarga terdekat sebagai tindakan pencegahan terhadap tingkat kecelakaan yang mungkin terjadi selama perayaan tahun baru.
Kecelakaan lalu lintas dan insiden lainnya yang terkait dengan perayaan besar-besaran dapat menjadi alasan bagi sebagian orang untuk menjauh dari keramaian. Meskipun perayaan tahun baru secara umum dianggap sebagai momen untuk bersenang-senang dan merayakan awal tahun yang baru, sebagian masyarakat Indonesia memilih untuk tidak merayakannya dengan cara yang sama seperti di negara-negara lain karena berbeda nilai budaya atau keyakinan keagamaan. (SS)
*)Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta