Apakah Judi itu Permainan atau Budaya di Indonesia


Nia Samsihono : Ketua Satupena DKI Jakarta

Semarangsekarang.com,- Judi telah menjadi bagian dari sejarah dan budaya Indonesia sejak zaman dahulu, meskipun bentuk dan legalitasnya telah berubah seiring waktu. Kehadiran judi di Indonesia, dapat ditelusuri hingga masa kerajaan-kerajaan kuno dan masa penjajahan, menunjukkan betapa panjang dan kompleksnya sejarah judi di negara kepulauan ini. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, judi sudah dikenal dalam masyarakat sebagai bentuk hiburan dan ritual tertentu. Bahkan dalam beberapa teks kuno, seperti prasasti, disebutkan berbagai permainan yang melibatkan taruhan. Di dalam cerita klasik Mahabarata ada penggalan kisah tentang bagaimana Pandawa dikalahkan Kurawa di meja judi. Kisah ini relevan hingga sekarang. Puntadewa anak pertama dari Pandawa mempertaruhkan Kerajaan Indraprasta beserta jajahannya di atas meja judi dengan Kurawa. Ada dialog dalam penggalan Pandawa Dadu itu, menyatakan: “Kita seringkali tidak ingat apa yang kita miliki, tetapi mengingat apa yang orang lain peroleh.” Itu ujaran Drestarastra pimpinan Kurawa yang menggambarkan tragedi kekalahan Pandawa saat bermain judi.

Masuknya pengaruh Islam di Nusantara membawa perubahan pandangan masyarakat terhadap judi. Islam melarang judi karena dianggap merugikan dan dapat menimbulkan konflik sosial. Namun, praktik judi tetap ada dalam beberapa bentuk, meskipun lebih tertutup dan dilakukan secara diam-diam. Pada masa kolonial Belanda, perjudian menjadi lebih terorganisir dan dilegalkan dalam beberapa bentuk oleh pemerintah kolonial. Kasino dan tempat-tempat judi resmi mulai bermunculan di kota-kota besar seperti Batavia (sekarang Jakarta) dan Surabaya. Pemerintah kolonial melihat judi sebagai sumber pendapatan yang signifikan dan mengatur berbagai jenis judi, seperti lotere dan balap kuda.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah baru menghadapi tantangan dalam mengatur judi. Pada awal kemerdekaan, perjudian tetap ada meskipun dengan regulasi yang lebih ketat. Namun, pada tahun 1970-an, pemerintah Indonesia di bawah rezim Orde Baru mulai mengambil langkah-langkah drastis untuk memberantas perjudian dengan alasan moral dan sosial. Judi dilarang secara tegas, dan berbagai operasi perjudian ilegal dibubarkan. Meskipun demikian, perjudian tetap eksis dalam bentuk-bentuk ilegal seperti judi online, togel (toto gelap), dan judi kartu. Pemerintah terus berusaha memerangi perjudian ilegal ini, tetapi sulit untuk memberantas sepenuhnya karena popularitas dan keinginan masyarakat untuk berjudi masih ada.

Secara keseluruhan, judi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perubahan sosial, budaya, dan politik yang terjadi di negara ini. Meskipun saat ini perjudian ilegal dan dilarang oleh pemerintah, keberadaannya yang terus-menerus menunjukkan bahwa perjudian adalah fenomena yang kompleks dan sulit dihilangkan sepenuhnya dari masyarakat. Judi seringkali dikategorikan sebagai salah satu bentuk permainan karena melibatkan unsur hiburan, risiko, dan kesempatan untuk memenangkan hadiah atau uang. Orang berjudi di kasino, di online, atau dalam bentuk taruhan olahraga karena mereka menikmati sensasi dan ketegangan yang ditawarkan. Judi melibatkan risiko uang atau aset lain dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Hal ini berbeda dari banyak permainan tradisional yang biasanya tidak melibatkan risiko keuangan yang signifikan. Banyak permainan menggabungkan keterampilan dan strategi (misalnya, catur, poker), sedangkan judi umumnya lebih mengandalkan keberuntungan. Namun, ada permainan judi seperti poker yang menggabungkan kedua unsur tersebut. Judi memiliki konotasi hukum dan etika yang lebih kompleks dibandingkan dengan permainan tradisional. Tidak seperti permainan biasa, judi memiliki potensi besar untuk menyebabkan ketergantungan dan masalah sosial. Orang dapat menjadi kecanduan judi, yang dapat berujung pada masalah finansial, sosial, dan psikologis yang serius.

Dalam banyak permainan, tujuan utamanya adalah bersenang-senang atau mengasah keterampilan. Sedangkan dalam judi, tujuan utamanya sering kali adalah untuk memenangkan uang. Meskipun judi bisa dianggap sebagai bentuk permainan karena melibatkan aspek hiburan dan tantangan, ada perbedaan mendasar yang memisahkannya dari permainan tradisional. Pertimbangan akan aspek risiko keuangan, potensi ketergantungan, dan dampak sosial menjadikan judi sebuah aktivitas yang lebih kompleks dan kontroversial daripada sekedar permainan biasa. Judi, atau perjudian, telah menjadi bagian kontroversial dalam budaya masyarakat Indonesia. Meskipun aktivitas ini sering dianggap sebagai kegiatan ilegal dan tidak bermoral oleh pemerintah dan banyak pihak dalam masyarakat, tidak dapat disangkal bahwa perjudian memiliki akar historis dan budaya di beberapa komunitas di Indonesia. Di Indonesia, bentuk perjudian tradisional seperti sabung ayam, adu domba, dan permainan kartu tradisional sering kali terkait dengan acara adat dan ritual keagamaan. Aktivitas ini tidak hanya dilihat sebagai hiburan, tetapi juga sebagai bagian dari tradisi dan cara mempererat hubungan sosial antaranggota komunitas.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan hukum yang ketat terhadap perjudian, mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, seperti ketergantungan, kejahatan, dan masalah sosial lainnya. UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian merupakan salah satu contoh regulasi yang menegaskan larangan terhadap segala bentuk perjudian. Pandangan agama, khususnya Islam yang dianut mayoritas penduduk Indonesia, juga sangat menentang perjudian, menganggapnya sebagai perbuatan dosa. Namun, meskipun hukum dan norma agama menentang, praktik perjudian tetap ada, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan di beberapa daerah. Ini mencerminkan adanya dilema moral dan hukum dalam masyarakat, di mana norma-norma budaya dan tradisi lokal terkadang bertentangan dengan hukum nasional dan ajaran agama. Padahal perjudian membawa risiko sosial yang signifikan, seperti peningkatan angka kriminalitas, kemiskinan akibat ketergantungan berjudi, dan konflik sosial. Judi sebagai budaya masyarakat Indonesia adalah fenomena kompleks yang mencerminkan ketegangan antara tradisi, hukum, dan moral. Di satu sisi, perjudian memiliki nilai historis dan budaya yang mendalam dalam beberapa komunitas. Di sisi lain, dampak negatif yang ditimbulkan memaksa pemerintah dan masyarakat untuk terus berupaya menanggulanginya. Solusi yang ideal mungkin terletak pada pendekatan yang seimbang, di mana tradisi dan budaya dihargai, tetapi dengan pengawasan ketat untuk mencegah dampak negatifnya. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang konteks budaya dan sosial dari perjudian, mungkin kita bisa menemukan cara yang lebih efektif untuk menangani isu ini, tanpa harus sepenuhnya menghilangkan elemen budaya yang telah ada sejak lama.

Dalam cerita Mahabarata, perjudian bukan sekadar aktivitas sampingan, tetapi merupakan titik balik yang membawa kehancuran bagi para Pandawa. Kekalahan Puntadewa, pemimpin Pandawa, yang dipicu oleh kecanduannya pada judi dan rasa harga dirinya, menyebabkan ia kehilangan semua miliknya, termasuk kerajaan, saudara-saudaranya, dan bahkan istrinya yang bernama Drupadi. Kejadian ini memicu rangkaian peristiwa yang berujung pada perang besar di Kurusetra. Dengan demikian, judi dalam Mahabarata berfungsi sebagai katalis untuk konflik dan drama yang lebih besar. Perjudian dalam Mahabarata dapat dilihat sebagai metafora untuk keserakahan dan ketidakadilan. Kecanduan Puntadewa pada judi dan ketidakmampuannya untuk berhenti meski telah kehilangan banyak, menggambarkan bagaimana keserakahan dapat menghancurkan seseorang. Selain itu, kecurangan yang dilakukan oleh Sengkuni (Patih Kurawa) yang secara sistematis menipu Puntadewa, menunjukkan bagaimana ketidakadilan dan manipulasi dapat merusak tatanan moral. Peristiwa ini mengajarkan pentingnya integritas dan kewaspadaan terhadap godaan yang merugikan. Adegan judi dalam Mahabarata juga dapat ditafsirkan sebagai kritik terhadap sistem sosial dan kultural pada masa itu. Permainan judi yang melibatkan kerajaan dan kehormatan keluarga menunjukkan bagaimana nilai-nilai materialistis dan kehormatan eksternal dapat menjadi sumber konflik. Mahabarata melalui episode perjudian ini memberikan pengingat yang kuat tentang konsekuensi dari tindakan kita. Kecenderungan untuk mengambil risiko tanpa mempertimbangkan akibatnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Puntadewa, dapat membawa bencana besar bagi diri, keluarga, bahkan kerajaannya. Ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan dan pertimbangan yang matang diperlukan dalam mengambil keputusan, terutama yang berdampak besar pada kehidupan banyak orang.

Tahun 1965 adalah masa yang penuh dinamika di Indonesia, baik dari segi politik, sosial, maupun budaya. Salah satu fenomena sosial yang cukup menonjol pada masa itu adalah kebiasaan bermain judi di kalangan anak-anak. Pada tahun itu, Indonesia berada di tengah-tengah perubahan politik besar dengan situasi yang tidak menentu. Dalam konteks ini, permainan judi sering kali menjadi salah satu bentuk pelarian bagi masyarakat dari tekanan sosial dan ekonomi. Judi tidak hanya populer di kalangan orang dewasa, tetapi juga menyusup ke dalam kehidupan anak-anak. Banyak anak yang diperkenalkan pada judi oleh lingkungan sekitar mereka, termasuk keluarga dan teman-teman. Dalam beberapa kasus, anggota keluarga yang lebih tua yang sudah terbiasa berjudi sering kali mengajak anak-anak untuk ikut serta. Hal ini membuat judi menjadi sesuatu yang terlihat normal dan diterima secara sosial. Beberapa jenis permainan judi yang populer di kalangan anak-anak pada masa itu antara lain, kelereng, gasing, dan permainan kartu. Anak-anak sering kali mempertaruhkan kelereng mereka dalam permainan. Anak yang kalah harus memberikan sejumlah kelereng kepada yang menang. Permainan kartu sederhana dengan taruhan kecil-kecilan juga marak di kalangan anak-anak. Kartu pada waktu itu yang terkenal berbentuk gambar wayang yang dilemparkan ke atas dan saat jatuh akan memperlihatkan tokoh siapa yang menang. Permainan kartu gambar atau “umbulan” ini juga mempertaruhkan gambar tokoh wayang. Ada juga permainan dadu kopyok. Permainan dadu kopyok adalah salah satu permainan tradisional yang sangat populer di Indonesia pada tahun 1960-an. Permainan ini tidak hanya sekadar permainan biasa, tetapi juga merupakan bagian dari budaya dan kehidupan sosial masyarakat kota maupun pedesaan pada masa itu. Dadu kopyok dimainkan menggunakan dadu kecil yang dikenal sebagai “kopyok”, yang biasanya terbuat dari kayu atau bahan-bahan lain yang tersedia. Dadu kopyok umumnya dimainkan oleh anak-anak, baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat bermain mereka di pinggir lapangan atau di tepi jalan tempat mereka berkumpul. Permainan ini sering kali menjadi hiburan sederhana yang menyatukan anak-anak itu dalam suatu aktivitas yang menyenangkan. Aturan permainan dadu kopyok relatif sederhana. Biasanya, setiap pemain akan melempar dadu kopyok ke atas meja atau permukaan datar lainnya. Pemain harus menebak hasil lemparan dadu kopyok, misalnya apakah jumlah angka yang muncul ganjil atau genap, besar atau kecil, atau kombinasi lainnya. Jika tebakannya benar, pemain berhak mendapatkan uang yang dijadikan taruhan, tidak banyak tetapi ini juga meresahkan karena anak-anak itu akan membutuhkan uang untuk ikut bermain lagi. Jika uangnya habis, ia akan meminta uang pada orang tuanya atau mencuri di dompet atau saku orang tuanya. Keberadaan dadu kopyok tidak terbatas pada kota-kota besar saja, melainkan juga tersebar luas di pelosok desa-desa di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa permainan ini memiliki daya tarik universal di kalangan berbagai lapisan masyarakat. Kenangan akan permainan dadu kopyok tetap hidup di hati mereka yang pernah menikmatinya. Permainan ini menjadi simbol kebersamaan, keceriaan, dan kehangatan dalam memori masa lalu yang indah di Indonesia pada era 1960-an.

Praktik perjudian di kalangan anak-anak pada tahun 1965 membawa berbagai dampak negatif, baik dari segi pendidikan, moral, maupun psikologis. Kecanduan berjudi menyebabkan anak-anak sering kali mengabaikan pendidikan mereka. Ketika itu, permainan judi dilakukan pada waktu bermain dengan teman-teman di lingkungannya. Judi mengajarkan anak-anak untuk mencari jalan pintas dalam mendapatkan sesuatu, tanpa menghargai proses dan kerja keras. Kekalahan dalam berjudi dapat menyebabkan stres dan tekanan psikologis pada anak-anak. Selain itu, mereka juga bisa mengembangkan sifat agresif dan kompetitif yang berlebihan. Pada masa itu, pemerintah dan lembaga pendidikan mulai menyadari bahaya perjudian marak di kalangan anak-anak dan mereka melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya. Sekolah-sekolah mulai memasukkan pendidikan moral dan etika dalam kurikulum mereka untuk mengajarkan anak-anak tentang bahaya judi dan pentingnya integritas. Beberapa kampanye dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif judi, baik melalui media massa maupun kegiatan di komunitas. Orang tua didorong untuk lebih aktif mengawasi aktivitas anak-anak mereka dan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Permainan judi yang dilakukan anak-anak pada tahun 1960-an mencerminkan aspek budaya dan sosial dari era tersebut. Meskipun tampak sederhana dan tidak berbahaya, potensi dampak negatifnya tetap ada. Kesadaran dan pengawasan dari orang tua serta pendidikan tentang bahaya judi sejak dini sangat penting untuk mencegah perkembangan kebiasaan yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Pertanyaan apakah judi merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia adalah perdebatan yang kompleks dan sering kali kontroversial. Untuk menjawabnya, mari kita tinjau beberapa sudut pandang yang berbeda. Ada pendapat bahwa judi telah menjadi bagian dari budaya Indonesia dalam beberapa bentuk selama berabad-abad. Sejarah menunjukkan bahwa permainan judi seperti kartu dan dadu telah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan dan bahkan sebelumnya. Aktivitas semacam ini sering kali terkait dengan tradisi lokal, seperti upacara adat atau perayaan tertentu. Namun, pandangan ini tidak berlaku untuk semua kelompok atau daerah di Indonesia. Banyak masyarakat dan kelompok agama di Indonesia menolak judi karena dianggap merusak moral dan mengarah pada masalah sosial seperti kecanduan judi, utang, dan pecahnya rumah tangga. Mereka berpendapat bahwa judi bukanlah bagian dari nilai-nilai budaya yang seharusnya dijunjung tinggi. Di sisi lain, dalam beberapa dekade terakhir, praktik judi telah berkembang pesat di Indonesia, terutama dengan munculnya kasino, tempat perjudian ilegal, dan permainan online. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang dampak sosial dan ekonomi dari penyebaran judi, terutama di kalangan masyarakat yang rentan.

Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan bahwa budaya adalah entitas yang dinamis dan terus berubah seiring waktu. Pandangan masyarakat terhadap judi bisa saja berubah seiring dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Penilaian terhadap apakah judi adalah bagian dari budaya Indonesia juga bisa bervariasi bergantung pada sudut pandang dan nilai-nilai yang dipertimbangkan. Sebagai kesimpulan, sementara ada argumen yang mendukung bahwa judi telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia dalam beberapa konteks, pandangan ini tidaklah merata di semua kelompok dan daerah. Diskusi lebih lanjut dan penelitian mendalam diperlukan untuk memahami secara komprehensif bagaimana judi tercermin dalam budaya Indonesia dan bagaimana hal ini mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan.

Berita Terkait

Top