Ardham Hamdani Penderita Thalassemia yang Terus Menulis
Peserta, narasumber, dan pengarang novel Prince of Thalassemia bergambar bersama di tengah peluncuran dan diskusi buku tersebut, di Ruang Audio-Visual Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang (foto : ist)
Semarangsekarang.com (Semarang),- Ardham Hamdani merupakan pengarang yang memiliki kepedulian, mengungkap kehidupan pribadinya menjadi bahan tulisan. Yaitu latar belakang kehidupannya sebagai pengidap thalassemia. Meskipun dia seorang pasien thalassemia Ardham bertekad untuk terus menulis.
Hal itu dikatakan oleh Ketua Umum Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie ketika menjadi narasumber pada Peluncuran dan Diskusi Buku Novel “Prince of Thalassemia” karya Ardham Hamdani di Ruang Audio-Visual Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, Jalan Prof. Soedarto, Semarang, Kamis (12/9/2024).
Ardham, pengarang novel ini, adalah pasien thalassemia sejak lahir. Ia harus menjalani transfusi darah secara rutin sebulan sekali.
Narasumber lain adalah Ketua Bengkel Sastra Taman Maluku Semarang Sulis Bambang. Sulis menggantikan dr. Bambang Sudarmanto, Sp.A., MARS dari RS dr. Kariadi yang berhalangan hadir. Kegiatan dibuka oleh Sekretaris Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang Dr. Muhammad Ahsan, S.Ag., M.Kom yang sebelumnya memberikan sambutan.
Dalam diskusi yang dipandu Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T., itu Gunoto mengatakan, karya sastra lahir dari perenungan dan daya khayal seorang sastrawan. Perenungan dan daya khayal tersebut tidak lepas dari pengamatan dan pengalamannya dalam kehidupan bermasyarakat. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya.
Menurut Gunoto, karya sastra muncul karena desakan emosional atau rasional dari sang pengarang. Kegelisahan pengarang menjadi kegelisahan juga bagi masyarakat. Begitu pula harapan-harapan dan penderitaan-penderitaan pengarang. Aspirasi pengarang menjadi bagian dari aspirasi masyarakat, sehingga melalui karyanya, pengarang melakukan kritik terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Kegelisahan Ardham juga terbaca dalam buku ini.
Ketika menyinggung banyaknya kata-kata berbahasa Jawa dan asing dalam novel Ardham, ini Gunoto menuturkan, Indonesia merupakan salah satu negara multikultural yang kaya akan budaya, adat, suku, dan bahasanya. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa daerahnya masing-masing.
Bahasa tersebut digunakan sebagai alat komunikasi di antara penuturnya, baik di luar maupun di dalam wilayah geografisnya. Hal ini menyebabkan terciptanya beberapa penutur yang dwibahasa bahkan dapat membentuk masyarakat yang multilingual. Bilingualisme dan multilingualisme ini wajar ketika muncul dalam novel “Pince of Thalassemia.”
Sulis Bambang memberikan apresiasi terhadap Ardham dan novelnya. Di tengah penderitaan mengidap thalassemia itu masih tetap aktif berkarya sebagaimana orang normal. Namun, Sulis mengingatkan perlunya pendidikan inklusif yang memberikan kesempatan kepada mereka yang berkebutuhan khusus seperti Ardham. Pandangan masyarakat pada umumnya belum bisa menerima kehadiran para pengidap thalassemia sebagai pekerja maupun siswa di sekolah.
Ardham sendiri yang kini berusia 31 tahun terus berusaha berkarya selama hayat dikandung badan. Ia tidak peduli apakah karyanya diterima masyarakat atau tidak. Baginya, yang penting adalah terus aktif dan kreatif berkarya. (subagyo/ss)