Bedah Buku di UNS Soroti Perbedaan Amandemen Konstitusi Indonesia dan Jepang
Pustakawan dari MPR dan UNS mengabadikan kegiatan pustaka akademik (foto;ist)
Semarangaekarang.com (Surakarta),- Anggota MPR RI dari Fraksi Gerindra, Ir. Sriyanto Saputro, M.M., menyoroti perbedaan mencolok antara konstitusi Indonesia dan Jepang. Ia mengatakan, konstitusi Jepang belum pernah diamandemen sejak pertama kali disahkan, berbeda dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan pada era reformasi.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi bedah buku karya Dr. Isharyanto S.H., M.Hum., berjudul “Hukum Tata Negara Perbandingan: Konstitusi Jepang antara Stabilitas dan Tuntutan Amandemen” dalam kegiatan Pustaka Akademik di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Gedung Suhardi, Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, Rabu (22/10/2025).
Sriyanto juga menyampaikan pandangan kritis dan reflektif mengenai sejarah dan dinamika amandemen UUD NRI 1945, serta membandingkannya dengan stabilitas konstitusional yang terjadi di Jepang.
“Di Jepang, konstitusinya belum pernah diamandemen. Sementara di Indonesia, sejak reformasi sudah empat kali. Amandemen bukan hal tabu, tapi jangan juga jadi latah,” tegasnya
Ia menilai bahwa amandemen UUD pasca reformasi membawa dampak positif, seperti pembatasan masa jabatan presiden dan pelaksanaan pemilihan umum secara langsung.
Namun, ia juga menyoroti munculnya multitafsir dan kontroversi dalam pelaksanaannya, termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi yang belakangan menuai kritik.
Dalam forum tersebut, ia juga mengingatkan agar amandemen tidak dilakukan hanya untuk kepentingan politik jangka pendek.
“Jadi, pentingnya untuk menjaga konstitusi sebagai pijakan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya
Peran perpustakaan
Sementara itu, Dr. Isharyanto S.H., M.Hum., sang penulis buku menyoal pentingnya peran perpustakaan dalam mendukung literasi konstitusional.
Ia menekankan bahwa meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, kegiatan bedah buku dapat dimaknai sebagai bagian dari fungsi literasi yang diemban perpustakaan.
Isharyanto juga menyoroti budaya politik Jepang yang konservatif dan penuh kesantunan, serta membandingkannya dengan dinamika konstitusional di Indonesia, termasuk kompleksitas perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peran Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Isharyanto juga memberikan pandangan tajam terkait amandemen Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinamika sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia juga mengatakan pentingnya untuk memahami konteks historis dan kebahasaan dalam menafsirkan pasal-pasal konstitusi. (mbo/ss)







