Menuju Pilkada Serentak 2024
Gunoto Saparie : Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah dan Satupena Jawa Tengah
Semarangsekarang.com,- Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2024 telah diluncurkan di Kelenteng Sam Poo Kong, Semarang, Sabtu (274/2024). Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024. Demikian juga pemilihan kepala daerah di 35 kabupaten dan kota se-Jawa Tengah juga akan diselenggarakan secara serentak pada tanggal tersebut.
Pada Peluncuran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2024, ini Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah juga meluncurkan tagline, maskot, dan jingle pemilu. Tagline Pilkada Serentak Jawa Tengah 2024 adalah “Luwih Becik, Luwih Nyenengke“. Tagline itu dilandasi dengan semangat gotong royong dan kekeluargaan. Harapannya pemilihan nanti dilaksanakan dengan riang gembira, untuk memilih pemimpin terbaik.
Sedangkan maskot Pilgub Jateng mengadopsi tokoh Semar yang dinamai Semarbot. Semangatnya adalah mengambil sifat Semar yang mengayomi semua, sehingga harapannya gubernur dan wakil gubernur terpilih dapat mengayomi masyarakat Jawa Tengah. Sementara Jingle Pilgub Jateng 2024 berjudul “Tentukan Pilihan”, mengandung pesan dan motivasi Pilgub Jateng sebagai pesta demokrasi yang luber (langsung, umum, bebas, rahasia), jurdil (jujur, adil), berkualitas, dan bermartabat.
Berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024. Salah satu implikasi hukumnya membuat banyak kursi kepala daerah definitif harus diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) atau pejabat. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 dan 2021 hanya akan menjabat sampai 2024.
Pada tahun 2022 terdapat 101 kepala daerah hasil pilkada tahun 2017 yang berakhir masa jabatannya. Sedangkan 171 Kepala Daerah hasil pilkada 2018 akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Dengan ditiadakannya penyelenggaraan pilkada serentak di 2022-2023, maka sebanyak 272 Plt kepala daerah akan menjabat sampai adanya kepala daerah hasil pilkada serentak 2024.
Pertanyaan yang muncul ke permukaan adalah, bagaimana dengan kepala daerah yang masa jabatannya berkurang atau terpotong karena adanya pilkada serentak 2024 itu? Di Jawa Tengah ada sejumlah kepala daerah yang akhirnya hanya menjabat tidak sampai 5 tahun, seperti di Rembang, Sragen, Kebumen, dan Surakarta.
Kita tahu, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan dokumen perencanaan pembangunan suatu daerah yang menjadi penjabaran visi misi pasangan kepala daerah dan calon kepala daerah terpiilih. RPJMD tersebut menjadi pedoman perencanaan pembangunan daerah selama 5 tahun yang seharusnya mengikuti masa jabatan kepala daerah. Persoalan yang muncul adalah kepala daerah hasil pilkada 2020 lalu hanya menjabat kurang lebih 3,5 tahun. Apakah waktu 3,5 tahun tersebut cukup untuk melaksanakan janji politik yang sudah tertuang dalam RPJMD? Apakah Plt atau Pj kepala daerah mampu memahami ide dan konsep pembangunan yang disusun oleh kepala daerah yang digantinya?
Oleh Karena itu, sangat wajar ketika tiga belas kepala daerah mengajukan pengujian Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Mereka adalah Al Haris (Gubernur Jambi), Mahyedi (Gubernur Sumatera Barat), Agus Istiqlal (Bupati Pesisir Barat), Simon Nahak (Bupati Malaka), Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen), Sanusi (Bupati Malang), Asmin Laura (Bupati Nunukan), Sukiman (Bupati Rokan Hulu), Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar), Basri Rase (Walikota Bontang), Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Rusdy Mastura (Gubernur Sulawesi Tengah), dan Ma’mur Amin (Wakil Gubernur Sulawesi Tengah).
Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024.“ Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.“ Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada menyatakan, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksudkan pada ayat (5), diangkat pejabat Gubernur, pejabat Bupati, dan pejabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.“
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra ini, Donal Fariz selaku kuasa hukum para pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Para Pemohon menilai pembentuk undang-undang dinilai tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan Pilkada Serentak 2024, sehingga berpotensi menghambat pemilihan kepala daerah yang berkualitas. Sebab, berpedoman dari pengalaman Pemilu tahun 2019, menunjukan fakta bahwa terdapat beban tugas penyelenggaraan ad hoc yang tidak rasional dan terlalu berat. Tercatat dalam Pemilu tahun 2019 menewaskan kurang lebih 894 petugas ad hoc dan 5.175 petugas sakit akibat kelelahan. Hal ini berpotensi memunculkan kekacauan teknis yang berimpilikasi pada terlanggarnya ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang.
Para pemohon meminta kepada Mahkamah agar meninjau ulang jadwal penyelenggaraan Pilkada, khususnya terhadap 270 daerah otonomi yang menyelenggarakan Pilkada di tahun 2020. Menurut para pemohon, berdasarkan pendekatan judicial activism yang dilakukan oleh Mahkamah selama ini, persoalan ini penting untuk diselesaikan, dengan membagi kembali jadwal penyelenggaraan pemilihan secara serentak dengan rincian, 276 daerah tetap menyelenggarakan pemilihan pada November 2024, dengan pertimbangan agar segera terdapat kepala daerah yang definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat, dan 270 daerah hasil pemilihan tahun 2020 dapat menyelenggarakan pemilihan pada bulan Desember 2025.
Pada permohonan para pemohon tidak hanya menyoal masa jabatan yang terpotong, tetapi juga memberikan usulan penataan jadwal pilkada yang jauh lebih rasional berdasarkan indikator dan prasyarat yang diuraikan MK dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dengan digesernya waktu penyelenggaraan pemilihan terhadap 270 kepala daerah menjadi Desember 2025 ini akan mengurangi beban aparat keamanan dalam mengamankan penyelenggaraan pilkada dalam jumlah besar pada waktu yang bersamaan.
Kalau kita melihat Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, bahwa kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Wali Kota), di mana hasil pemilu tahun 2020 yang dilantik pada januari tahun 2021 hanya menjabat sampai 2024, atau hanya sekitar kurang dari 4 tahun masa jabatan, maka menimbulkan suatu keadaan kontrakdiksi antarperaturan perundang-undangan. Pasal 162 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menyebutkan bahwa gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, memegang jabatan selama 5 tahun. Hal yang sama juga tercantum pada Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa masa jabatan kepala daerah yakni gubernur, bupati, dan wali kota adalah selama 5 tahun. Masa jabatan 5 tahun tersebut terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Berkurangnya masa jabatan kepala daerah terpilih dari pilkada tahun2020 karena pilkada serentak pada 27 November 2024 tentu merusak kualitas demokrasi dan menimbulkan disharmoni kebijakan pembangunan. RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan dokumen perencanaan pembangunan suatu daerah yang menjadi penjabaran Visi Misi Pasangan Kepala Daerah dan Calon Kepala Daerah terpiilih. RPJMD tersebut menjadi pedoman perencanaan pembangunan daerah selama 5 tahun yang seharusnya mengikuti masa jabatan kepala daerah. Ketika kepala daerah hasil pilkada 2020 lalu hanya menjabat kurang lebih 3,5 tahun tentulah waktu tersebut sangatlah singkat untuk melaksanakan janji politik yang sudah tertuang dalam RPJMD.
Alhamdulillah. Mahkamah Konstitusi akhirnya memang mengabulkan sebagian permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Dalam amar putusan, MK menyatakan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang semula berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”. Sehingga, norma Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang selengkapnya menjadi berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”.
Dengan demikian, persoalan dan implikasi hukum dari Pilkada Serentak 2024 telah terurai. Oleh karena itu, jalan menuju Pilkada Serentak 2024, termasuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2024, semoga lancar, tidak banyak aral dan alangan yang berarti.